Namun demikian, ia menambahkan bahwa KBRI Moskow tetap memantau keberadaan Satria dan menjaga komunikasi dengannya.
Jeritan dari Rusia: Saya Hanya Ingin Pulang
Dalam videonya, Satria berbicara dengan nada getir. Ia meminta maaf kepada Presiden Prabowo, Wakil Presiden Gibran, dan Menlu Sugiono. Ia mengaku berangkat ke Rusia dengan restu sang ibu, berharap bisa memperbaiki hidup.
“Dicabutnya kewarganegaraan saya, itu tidak sebanding dengan yang saya dapatkan,” katanya lirih. Satria pun berharap kontrak militernya dapat dibatalkan melalui intervensi pemerintah Indonesia ke Rusia.
“Yang bisa mengakhiri kontrak saya hanya bapak Prabowo melalui Kementerian Pertahanan Rusia kepada Vladimir Putin,” katanya berharap.
BACA JUGA:PAGI CERIA! Saldo DANA Kaget Rp345.000 Cair ke Dompet Digital Kamu, Cara Klaimnya Mudah
Kasus Satria ini membuka kotak Pandora yang lebih besar. Tentang nasib prajurit TNI yang mencari jalan hidup ekstrem di tengah sulitnya ekonomi pasca-dinas. Ia bukan hanya membelot, tapi juga membawa konsekuensi hukum dan diplomatik lintas negara.
Meski mengaku rindu Tanah Air, posisinya kini di luar sistem hukum Indonesia. Ia tidak lagi warga negara, dan bukan pula bagian dari korps militer mana pun secara legal di Indonesia.
Permintaan maaf Satria menjadi perdebatan publik. Di satu sisi, ia dianggap khilaf dan layak diberi kesempatan kedua. Di sisi lain, tindakannya sudah melampaui batas kewajaran, terlebih di tengah sensitifnya konflik global seperti invasi Rusia ke Ukraina.
Pemerintah tampaknya masih berhati-hati. Meskipun komunikasi masih dijaga oleh KBRI Moskow, tidak ada sinyal bahwa status WNI Satria akan dikembalikan.
Dan di antara bisingnya geopolitik, Satria kini menjadi potret paling gamblang dari paradoks seorang pejuang yang kehilangan tempat pulang.