JAKARTA, DISWAY.ID — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan lokal sebagai bentuk judicial activism, yang berpotensi melampaui kewenangannya sebagai lembaga Yudikatif.
Demikian pengamat politik Abul Hakim AS dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertema "Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi UU Pemilu", di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu 6 Agustus 2025.
Ia menilai MK saat ini telah menjelma menjadi lembaga superbody yang tidak memiliki mekanisme pengawasan, bahkan mampu 'menyihir' seluruh sistem politik hanya dengan keputusan dari sembilan hakim konstitusi.
“Saya cukup terkejut dengan putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah. Putusan ini keluar tanpa melalui diskusi terbuka dengan publik, Bawaslu, KPU, apalagi DPR. Padahal pemilu itu menyangkut seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.
BACA JUGA:Puan Kritik Keras Putusan MK: Pemisahan Pemilu Langgar UUD 1945!
Abdul Hakim menekankan, keputusan sebesar itu semestinya melalui konsultasi luas dengan berbagai pemangku kepentingan.
Menurutnya, MK seharusnya hanya bertugas sebagai interpreter undang-undang, bukan pembentuk norma baru.
“MK itu tugasnya menafsirkan, bukan membuat norma. Tapi yang terjadi saat ini, MK seperti menggeser posisi pembentuk undang-undang. Ini yang saya sebut sebagai judicial activism yang terlalu jauh,” kritiknya.
BACA JUGA:KPU Tunggu Arahan dari DPR RI untuk Tindaklanjuti Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu
Ia juga menyinggung bahwa keputusan memisahkan pemilu nasional dan daerah akan berimbas pada tumpang tindih aturan dalam sistem ketatanegaraan.
Salah satu contohnya adalah masa jabatan DPRD yang bisa berubah menjadi tujuh tahun karena jeda antara pemilu nasional dan daerah.
“Kalau DPRD tidak ikut pemilu nasional, maka masa jabatan mereka bisa sampai tujuh tahun. Ini jelas menabrak prinsip dasar pemilu lima tahunan dalam UUD 1945,” ujarnya lagi.
BACA JUGA:KPU Tunggu Arahan dari DPR RI untuk Tindaklanjuti Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu
Lebih lanjut, Abdul Hakim menyebut bahwa MK selama ini cenderung leluasa karena tidak ada lembaga yang mengawasi atau dapat mengoreksi putusannya.
Padahal, dalam sistem demokrasi modern, prinsip check and balance adalah keniscayaan.