Selain itu, ia juga menyoroti soal dugaan penggunaan identitas palsu dalam kasus ini.
"Ini masalah identitas palsu yang digunakan oleh mereka. Jadi sudah saatnya memang pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan pemerintah terkait dengan perlindungan data pribadi," jelasnya.
Nasir menambahkan bahwa masyarakat sebaiknya tidak buru-buru menghakimi kepolisian, mengingat kemungkinan adanya pihak bandar judi yang memakai buzzer untuk memutarbalikkan opini publik.
"Bandar-bandar juga punya buzzer ya, jadi mereka juga kadang mencoba untuk menyebarkan opini yang terkait untuk merusak citra institusi penegak hukum," pungkasnya.
Sebelumnya, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengamankan lima orang pelaku Judi Online (Judol) yang diduga mengakali atau membobol sistem promo di sebuah situs judol.
BACA JUGA:Lion Group Resmikan Lion Hub Halim, Pusat Distribusi dan Logistik Terintegrasi di Jakarta Timur
Kelima pelaku. Yakni, RDS (32), EN (31), DA (22) asal Bantul, serta NF (25) dari Kebumen, dan PA (24) dari Magelang, Jawa Tengah.
Para pelaku menggunakan metode ternak akun untuk mengecoh sistem promosi situs bandar judol.
Mereka membuat hingga 40 akun berbeda dan mengganti nomor ponsel serta menyamarkan IP address untuk menghindari pelacakan.
Kasubdit V Cyber Ditreskrimsus Polda DIY, AKBP Slamet Riyanto menjelaskan bahwa dalang utama kasus ini adalah RDS (32), yang bertindak sebagai koordinator.
"RDS ini bosnya. Dia menyiapkan link situsnya, dia mencari, kemudian menyiapkan PC, dan menyuruh empat karyawan untuk memasang judi online. Dia (RDS) cari promosi di situs-situs judi online," ungkap Slamet, Rabu 6 Agustus 2025.
BACA JUGA:Berdamai, Sopir Pajero Ngaku Aparat Sambil Bawa Senpi di Pondok Aren Ternyata Pegawai Kejagung!
Kanit 1 Subdit V Siber, Kompol Ardiansyah Rolindo Saputra menambahkan bahwa para pelaku menyasar bonus dan kemenangan awal yang diberikan bandar sebagai umpan kepada pemain baru.
"Kalau untung withdraw, kalau kalah buka akun baru," jelasnya.
Dengan modus tersebut, mereka mampu meraup omzet hingga Rp50 juta dalam setahun.
Para tersangka akan dikenakan pasal berlapis, termasuk UU ITE dan KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar.