Hingga saat ini, belum ada obat antivirus spesifik untuk Chikungunya. Penanganan yang diberikan kepada pasien bersifat simtomatik, yaitu untuk meredakan gejala yang timbul.
"Penanganannya fokus pada istirahat total, memastikan pasien terhidrasi dengan baik dengan banyak minum, dan memberikan obat pereda demam dan nyeri seperti parasetamol," jelas Dr. Adriansyah.
Ia memberikan peringatan keras untuk tidak mengonsumsi obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) seperti ibuprofen atau aspirin secara sembarangan jika mengalami gejala demam, sebelum dipastikan bukan demam berdarah.
"Hal ini untuk menghindari risiko perdarahan yang bisa berakibat fatal pada kasus DBD, yang gejalanya bisa mirip di awal," ujar dr. Adriansyah.
BACA JUGA:Prabowo Bantah Pertahanan Indonesia Bersifat Defensif: Itu Sejarah yang Keliru
Mengingat tidak adanya pengobatan definitif, para ahli kesehatan sepakat bahwa upaya paling efektif adalah pencegahan melalui pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
"Kuncinya ada di lingkungan kita sendiri. Praktikkan 3M Plus secara rutin dan serentak," imbau Dr. Adriansyah. Praktik yang dimaksud adalah:
1. Menguras tempat penampungan air seperti bak mandi, ember, dan vas bunga secara teratur.
2. Menutup rapat semua tempat penyimpanan air.
3. Mendaur ulang barang bekas yang berpotensi menjadi tempat genangan air.
Adapun tindakan Plus meliputi penggunaan kelambu saat tidur, menanam tanaman pengusir nyamuk, memelihara ikan pemakan jentik, dan menggunakan losion antinyamuk, terutama saat beraktivitas di luar rumah pada pagi dan sore hari, waktu nyamuk Aedes paling aktif.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengimbau seluruh masyarakat untuk tidak lengah dan segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat jika mengalami gejala yang mengarah ke Chikungunya. Gotong royong dan kesadaran kolektif dalam menjaga kebersihan lingkungan menjadi senjata utama untuk mencegah wabah meluas di Tanah Air.