JAKARTA, DISWAY.ID - Kalangan medis dan ahli kesehatan menyuarakan keprihatinan serius menyusul lonjakan signifikan kasus demam Chikungunya di sejumlah negara Asia.
Wabah terbesar dilaporkan terjadi di China, di mana jumlah kasus di Provinsi Guangdong telah melampaui 7.000, dengan beberapa laporan bahkan menyebut angka mendekati 10.000 kasus.
BACA JUGA:Dari Makassar, NasDem Kirim Pesan Politik Kuat ke Pemerintah & DPR
Situasi ini mendorong negara tetangga seperti Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi penyebaran.
Selain China, Singapura juga melaporkan adanya peningkatan kasus dan telah mengeluarkan peringatan resmi kepada warganya. Peningkatan kasus di beberapa negara ini menjadi pengingat akan bahaya penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, nyamuk yang sama yang menyebarkan demam berdarah dengue (DBD) dan Zika.
Menanggapi situasi ini, para dokter dan pakar penyakit tropis menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam pencegahan sebagai garda terdepan untuk memutus rantai penularan.
Gejala Khas yang Melumpuhkan
Dr. Adriansyah, seorang dokter spesialis penyakit dalam, menjelaskan bahwa meskipun angka kematian akibat Chikungunya tergolong rendah, penyakit ini tidak boleh dianggap remeh karena dapat menyebabkan penderitaan yang signifikan.
"Gejala utamanya adalah demam mendadak yang sangat tinggi, bisa mencapai 39-40 derajat Celsius, yang disertai dengan nyeri sendi yang hebat. Inilah ciri khasnya," ujar Dr. Adriansyah saat dihubungi Disway.id pada Minggu 10 Agustus 2025.
"Rasa sakit pada sendi, terutama di pergelangan tangan, lutut, dan kaki, bisa sangat melumpuhkan hingga pasien sulit bergerak. Karena itu, penyakit ini sering disebut 'demam tulang'," tambahnya.
Selain demam dan nyeri sendi, gejala lain yang sering muncul meliputi ruam kemerahan di kulit, sakit kepala, nyeri otot, dan kelelahan ekstrem. Dr. Adriansyah menambahkan bahwa efek nyeri sendi ini bisa bertahan lama.
"Pada beberapa pasien, nyeri sendi dapat menjadi kronis dan berlangsung selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah virusnya hilang, yang tentu sangat menurunkan kualitas hidup," tuturnya.