JAKARTA, DISWAY.ID– Kebijakan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang mengajak warganya berdonasi Rp1.000 per hari menuai sorotan publik dan anggota DPR RI.
Meskipun sah-sah saja, langkah itu dinilai kurang tepat secara sosiologis karena berpotensi menimbulkan resistensi di masyarakat.
Demikian dikhawatirkan Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin melalui keterangan tertulisnya, dikutip Kamis (9/10/2025).
BACA JUGA:SAYEMBARA! Google Bagi-Bagi Rp500 Juta untuk Pemburu Bug AI di Gemini hingga Gmail
Ia menegaskan bahwa pemerintah daerah sebaiknya tidak menjadi pihak yang langsung memungut atau mengelola dana, melainkan cukup memfasilitasi partisipasi masyarakat agar lebih transparan dan partisipatif.
“Secara normatif, tidak ada soal. Meski ketentuan ini jarang dilakukan pemerintah dalam menggalang dana untuk kepentingan kesejahteraan sosial,” ujar Khozin.
Dia menjelaskan, dasar hukum penggalangan dana oleh pemerintah daerah memang diatur dalam Pasal 36 UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Pasal 75 PP 29 Tahun 2012.
Namun menurutnya, yang paling penting adalah mekanisme pelaksanaannya harus dikembalikan ke masyarakat.
“Prinsipnya, inisiatif penggalangan dana seharusnya muncul dari masyarakat, bukan dari pemerintah,” tegas politisi PKB asal Dapil Jawa Timur IV itu.
Menurut Khozin, pendekatan partisipatif lebih sesuai dengan semangat otonomi daerah dan prinsip akuntabilitas publik.
Dengan begitu, gerakan sosial seperti donasi seribu per hari akan berjalan tanpa menimbulkan kecurigaan atau salah tafsir dari publik.
Asal Usul Program “Seribu Sehari”
Program donasi Rp1.000 per hari itu diatur dalam Surat Edaran Gubernur Jabar Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu).
Tujuannya, menciptakan konsep “warga bantu warga” di mana setiap RT/RW memiliki kas sosial untuk membantu warga yang membutuhkan.