Kita harus dapat memilah, mencerna dan memilih mana isu-isu yang produktif bagi bangsa kita.
Kita tidak boleh menjadi bagian dari proxy kepentingan dan agenda kekuatan asing untuk melemahkan kita.
Kita harus menjadi warga dunia maya atau nitizen yang memperkuat literasi digital kita.
Kesadaran geopolitik ini harus terus ditanamkan agar kita menyadari bahwa persaingan antar negara saat ini bukan saja hanya pertarungan fisik berupa kekuatan pertahanan negara.
Kemampuan negara untuk menunjukan kekuatan pertahanan negara itu penting.
Tapi hal itu tidak cukup.
Di era sibernetik ini, persaingan dan pertarungan antar negara menggunakan kekuatan teknologi informasi sebagai instrumen untuk saling mendominasi.
BACA JUGA:Kader Muhammadiyah juga Terlibat Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji, Mengapa Media Hanya Menyebut NU?
BACA JUGA:Ketika Kader Muhammadiyah dan NU Terlibat Dugaan Korupsi kuota Haji
Diseminasi untuk membangun nilai arus besar untuk mendominasi nilai dengan menggunakan teknologi informasi dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) sudah menjadi bagian dari persaingan antar negara, terutama negara-negara adidaya.
Kita masih dikenal sebagai pengguna media sosial terbanyak di dunia, namun belum menjadi pengguna media sosial yang bijak dan cerdas.
Setidaknya, kita dituntut untuk dapat menjadi pengguna yang teknologi informasi yang proporsional dan tepat guna, bukan merusak kohesi sosial dan kebangsaan kita.
Di sinilah pentingnya kita memiliki kesadaran geopolitik.
Kesadaran geopolitik menjadi dasar dalam membangun ketahanan nasional, karena dari pemahaman terhadap posisi dan potensi negara itulah strategi pertahanan, politik, ekonomi, serta sosial budaya dapat dirancang secara menyeluruh.
BACA JUGA:Kandang Sapi Closed House, Tingkatkan Produksi Susu untuk Mendukung MBG
BACA JUGA:KPK Menangkap, Nahdliyin Berbenah