Aturan yang berlebihan juga bisa berdampak sebaliknya bagi driver maupun konsumen.
Tanpa ruang bagi aplikator untuk berinvestasi dalam teknologi, promo, maupun insentif, ekosistem transportasi daring bisa kehilangan daya saing dan justru menurunkan kesejahteraan mereka yang terlibat di dalamnya.
BACA JUGA:Cuaca Ekstrem di Depok Bikin Badan Ojol Meriang: 'Panasnya Nggak Main-main!'
"Karena itu, regulasi sebaiknya menjadi pagar pengaman yang menjamin keadilan dan perlindungan, bukan belenggu yang menghambat pertumbuhan," paparnya.
Menurut Piter, industri digital Indonesia adalah pilar ekonomi masa depan.
Ride hailing, dengan kontribusinya terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja, tidak bisa dilepaskan dari keberhasilannya memberikan bantalan dan akses pendapatan kepada jutaan mitra driver.
BACA JUGA:Ojol Jaga Kamtibmas, Strategi Polda Metro Jaya Gandeng Warga: Jaga Jakarta Plus
"Dua survei-survei terbaru justru menegaskan satu pesan bahwa driver tidak sekadar menuntut potongan rendah, melainkan ekosistem yang stabil, adil, dan transparan. Mereka rela berbagi 20% selama aplikator memberi order yang stabil, promo yang efektif, dan perlindungan yang nyata," jelasnya.
"Di sinilah titik temu bisa dibangun: aplikator menjaga transparansi dan manfaat, pemerintah mengawal regulasi yang adil, dan driver memahami posisi mereka sebagai mitra mandiri. Jika jalan tengah ini dijalankan, industri digital Indonesia bukan hanya tumbuh besar, tapi juga berkelanjutan, inklusif, dan berkeadilan. Saatnya tiga pihak, aplikator, pemerintah, dan asosiasi driver, duduk bersama untuk merancang blueprint keberlanjutan ekosistem digital. Bukan dialog reaktif saat konflik muncul, tapi dialog proaktif untuk membangun standar industri yang berkelanjutan," ujarnya.