Peak Halimun
--
Malam itu sudah 10 jam saya di dalam mobil. Di jalan yang nilainya lima. Sudah terlalu sore berangkat dari Bungku, ibu kota Morowali.
Begitu tiba di Tentena jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. "Kita tidak jadi ke Poso. Kita tidur di Tentena saja," kata saya pada suami Mega.
Belum pula makan malam.
Sambil cari-cari hotel kami makan malam. Ada resto ikan bakar yang terkenal: resto di atas air pinggiran Danau Poso. Tapi danaunya sudah gelap. Tidak bisa lihat keindahannya.
Sambil makan, kami menemukan hotel di pinggir danau. Kami tidak sempat melihat apa komentar netizen soal hotel itu. Yang penting: ambil kamar yang paling mahal di situ. Logikanya: mahal=baik.
Ternyata seharusnya kami pilih kamar yang harganya murah saja. Kamar yang mahal itu = jarang ada yang menempati. Jarang dibersihkan. Apek. Tidak terawat.
Apa boleh buat. Toh hanya untuk tidur. Hanya lima jam. Pukul lima pagi sudah harus berolahraga.
Sepagi itu ufuk timur Tentena sudah benderang. Kamar itu ternyata menghadap ke danau. Ke ''anak danau''. Danaunya yang luas sendiri di sebelah anak danau itu.
Ini kali kedua saya ke Danau Poso. Yang pertama dulu untuk melihat proyek pembangkit listrik tenaga air di situ: kenapa tidak kunjung selesai. Padahal terjadi kelangkaan listrik yang akut di Sulteng –dan seluruh Indonesia. Kami temukan akar masalah. Lalu selesai.
Tapi bermalam di Danau Poso baru sekali ini. Sayang hanya setengah malam. Selesai berolahraga kami harus naik mobil lagi: 10 jam lagi. Di jalan bernilai lima lagi.
Dari Tentena kami ke kota Poso: sarapan di situ. Coto Makassar. Anda sudah tahu apa beda soto dan coto: soto terbuat dari daging sapi, sedang coto terbuat dari daging capi.
Dari Poso kami terus menuju timur: Ampana. Anda sudah tahu: Ampana adalah ibu kota Kabupaten Tojo Una-Una.
Ampana itu penting kalau Anda akan ke surga bawah laut: di Pulau Togian. Di Teluk Tomini. Ampana juga penting kalau Anda akan berlayar ke kota Gorontalo di seberang laut sana.
Kami berhenti di Ampana: makan siang yang terlalu sore: 14.30. Ikan bakar lagi. Dabu-dabu lagi. Sayur kangkung lagi. Ini makan ikan bakar kelima secara beruntun dalam dua hari.
Pertama, ikan bakar di kawasan ini memang luar biasa enaknya. Kedua, tidak ada pilihan lain kecuali ikan bakar. Kalau tidak ikan bakar yang ada hanyalah bakar ikan.
Kami masih terus ke timur. Jalan raya sempit itu masih terus menyusuri pantai. Saya anggap ini sama dengan menyusuri jalan Pacific antara Los Angeles–San Francisco.
Pun ketika matahari sudah tenggelam kami terus ke timur. Hanya berhenti sebentar di dekat kota kecamatan Poh. Temannya teman saya sedang menyelesaikan proyek pabrik kelapa. Lengkap. Pabrik santan, tepung kelapa, pembekuan air kelapa, dan minyak kelapa. Sehari perlu 200.000 butir kelapa.
Sepanjang 10 jam perjalanan ini yang saya lihat memang hanya pohon kelapa. Di kanan-kiri jalan. Kadang pohonnya lebat. Kadang lebat sekali. Tengok ke kiri laut. Tengok kanan gunung. Antara laut dan gunung hanya ada lambaian pohon nyiur. Atau, yang terlihat adalah lubang-lubang di jalan.
Pukul 21.00 barulah kami tiba di Luwuk. Ibu kota Kabupaten Banggai. Saya sudah ditunggu di situ: upacara adat perkawinan mantan anak buah di Luwuk. Acaranya sudah berlangsung satu jam sebelumnya. Saya telat. Tapi belum sangat telat.
Pengantin wanitanya: mantan wartawan Luwuk Post. Namanyi: Reski Sululing. Dipanggil Kiki. Dia alumnus Universitas Negeri Makassar jurusan sastra Inggris.
Kini Kiki bekerja di perusahaan LNG yang ada di Luwuk: Donggi Senoro. Memang, sekitar 15 tahun lalu, ditemukan sumber gas di laut Banggai. Dialirkan ke daratan terdekat: Luwuk. Sebagian untuk listrik PLN –lewat perjuangan yang berat. Sebagian besar lagi dijadikan LNG untuk diekspor ke Jepang.
Kota Luwuk berkembang pesat setelah cukup listrik dan ada proyek LNG. Bandara pun dibangun. Kini pesawat Boeing 737 sudah bisa mendarat di Luwuk. Dua kali sehari: dari dan ke Makassar
Perkawinan ini istimewa. Pengantin laki-lakinya bernama Ahmed Ipesa-Balogun. Kelahiran Nigeria. Dari keluarga elite di Nigeria.
Kiki-Ahmed bertemu kali pertama di Amerika. Yakni saat Kiki dapat program jurnalisme di Amerika. Ahmed sendiri pindah ke Amerika saat umur dua tahun. Dibawa ayah-ibunya. Kini Ahmed sudah warga negara Amerika.

Dahlan Iskan diapit mempelai, Ahmed dan Kiki.-HARIAN DISWAY-
Tahun lalu Ahmed terbang dari Amerika ke Luwuk. Betapa jauhnya. Ia menemui ayah Kiki: melamar. Ia cium tangan sang calon mertua. Langsung diterima.
Malam kemarin itu adalah upacara adat Bugis yang wajib dilakukan sehari sebelum pernikahan. Saya lupa nama upacaranya. Ibunda kiki adalah wanita Bugis. Sang ayah orang Banggai.
Pernikahannya sendiri berlangsung Sabtu pagi ini: di hotel Santika, Luwuk. Sedang upacara adat itu berlangsung di rumah Kiki yang amat sederhana di desa Bunga, di pinggiran kota Luwuk.
Ayah bunda Ahmed datang dari Amerika ke Luwuk. Pun keluarga besar Ahmed berdatangan dari Nigeria. Salah satunya menjabat penasihat presiden Nigeria. Mereka kelihatan tertarik pada upacara adat itu. Salah satu suami-istri dari Nigeria ikut jadi pelakunya.
Di acara itu, sembilan pasang suami istri bergantian memberi doa khusus: mengoleskan dua jenis ramuan ke telapak tangan pengantin wanita. Lalu mendoakannya.
Saya dijadwalkan menjadi salah satu yang ikut melakukannya. Batal. Itu karena saya datang tidak dengan istri. Padahal kalau terjadi, saya bisa jadi juara di antara sembilan pasang itu: hanya saya yang sudah merayakan 50 tahun perkawinan.
Sabtu pagi ini ''perkawinan'' antar bangsa itu dirayakan di Luwuk. Saya lihat Luwuk jauh lebih maju dari yang saya lihat dulu. Inilah kota tercantik di seluruh Sulawesi –kalau sudah lebih maju kelak.
Kota ini berada di teluk yang permai. Bagian bawah, yang di dekat pantai, berkembang menjadi down town-nya. Pinggiran kotanya berbukitan yang berperan seperti backdrop-nya: Bukit Halimun.
Bukit Halimun kini berkembang menjadi kota baru. Dari sini bisa melihat down town di bawah sana: kalau malam indahnya cahaya seperti melihat Sentral Hong Kong dari arah The Peak di tahun 1930-an. (Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 19 Desember 2025: Anwar Ali
Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
SMELTER MEGA, KAMPUNG MINI, DAN FILOSOFI MOTOR BUTUT.. CHDI hari ni terasa seperti naik motor bareng Pak Haji Moh Ali: sederhana, cepat, tapi penuh makna. Di Morowali, kita melihat paradoks kelas dunia: smelter modern, PLTU berjajar, pelabuhan khusus—namun di bawahnya tumbuh kampung tanpa tata, seperti kota yang lupa didaftarkan ke negara. GNI jadi gula, semut datang sendiri. Negara? Seperti datang belakangan, sambil nanya: “Ini siapa yang izinkan bangun?” Yang menarik justru manusianya. Pak Haji Moh Ali—83 tahun, tajir melintir, tetap naik motor butut, uang di saku cukup buat bensin. Kekayaan tanpa pamer, iman tanpa poster, sedekah tanpa konferensi pers. Level kaya yang sudah “selesai dengan dunia”. Kontras dengan politik lokal yang rumahnya megah, warnanya seragam, dan jaraknya cuma lima rumah—tapi jarak elektoralnya bisa 10 persen suara. Tulisan ini mengingatkan: industrialisasi tanpa kawasan itu seperti undangan pesta tanpa panitia. Ramai, tapi berantakan. Dan kadang, kearifan lokal justru lebih modern dari smelter: hidup secukupnya, bekerja keras, salat tepat waktu, dan… tetap ngebut ke masjid. Morowali bukan cuma soal nikel. Tapi soal manusia yang berdamai dengan hidup.
Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
DI BAWAH JALAN LAYANG, NEGARA SERING TERTINGGAL.. Tulisan ini bukan sekadar laporan perjalanan, tapi potret telanjang tentang bagaimana pembangunan sering lebih cepat dari akal sehat. Smelter berdiri megah, PLTU gagah menghadap laut, jalan layang melintas anggun. Tapi di bawahnya? Hidup berlangsung ala survival mode: kos darurat, warung seadanya, debu sebagai wallpaper. Ini bukan salah buruh, bukan pula sepenuhnya salah perusahaan. Ini gejala klasik: industri datang, tata ruang tidak ikut pindah. Negara hadir lewat izin, tapi absen lewat rencana hidup. Menariknya, di tengah hiruk-pikuk nikel dan politik, muncul sosok sunyi: Pak Haji Moh Ali. Kaya dari kopra, bukan dari komoditas viral. Tidak sibuk membangun citra, tapi membangun masjid. Tidak naik mobil mewah, tapi konsisten ke masjid lima waktu. Di usia 83, masih ngebut—bukan mengejar proyek, tapi mengejar azan. Kontras ini menampar pelan: kemajuan material bisa dibeli, tapi ketertiban sosial perlu niat. Smelter bisa diimpor, PLTU bisa dirakit, tapi perencanaan kota tidak bisa “copy-paste”. Morowali seperti buku tebal: halaman industrinya mengkilap, tapi catatan kaki manusianya jauh lebih penting untuk dibaca.
Pedro Patran
Duhhh..., Abah jadi mengingatkan saya jauh ke belakang di tahun 90-an saat saya tinggal di Balikpapan. Saya sering (hampir tiap minggu ke Samarinda dg anak²). Di sanalah saya ketemu kue Gabin (nama kuenya ngambul nama pabriknya memang Gabin), yg disukai anak saya. Laaahh.. kok di Morowali malah jadi kesukaanya Kijang. Opo tumon.., hehehe..
Ima Lawaru
Kalo Abah tetap melanjutkan perjalanan ke arah barat, sedikit lagi sudah tiba di Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara. Yg berbatasan langsung dengan Sulawesi Tengah. Waktu KKN dulu, saya dkk, bepergian dari Kecamatan Asera sampai di desa terujung di Wiwirano yg berbatasan langsung dengan Sulteng. Nama desa tersebut sudah lupa. Kalau Abah benar² jadi ke sana, Abah akan disuguhi pemandangan Gunung Oheo dan Telaga Biru yang cantik.
djokoLodang
-o-- Ainal Yakin. ... Kami terus berkendara menuju ibu kota Morowali: Bungku. Kalau tidak ke sini saya tidak tahu kalau ibu kota Morowali itu bernama Bungku. Masih satu jam lagi di depan. ... *) Saya pun baru tahu, setelah baca CHDI pagi ini. Baru ilmal yakin --yakin karena ilmu-- bahwa Bungku ibukota Morowali. Abah langsung "ainal yakin" --yakin karena pernah berada di sana. ~ `Sesuatu yang amat sangat langka. Biasanya "ilmal yakin" dulu, baru "ainal yakin". --0-
Jhel_ng
Seperti kota yang saya tinggali, saya awalnya belum tahu, hanya mendengar sekilas-sekilas tentang Morowali. Bedanya, Morowali masih belum saya kunjungi. September 2024, adik saya yang selisih 10 tahun, dikabarkan akan mengikuti tes kesehatan ke Jakarta. Tiket pesawat dari Surabaya, hotel 3 malam, makan di Jakarta, semua ditanggung perusahaan. Ternyata lolos dan langsung diberangkatkan dari Soehat dengan pesawat carter Transnusa ke Bandara IMIP. Ingat, bandara di kabupaten Morowali itu ada dua, bandara IMIP dan bandara Maleo di Bungku. Seminggu sebelumnya, saya berinisiatif mencari tahu bagaimana kehidupan di Morowali, utamanya di kawasan industri IMIP. Saya mulai browsing di youtube, dan grup2 FB. Biasanya grup jual beli umum, jual beli motor bekas, jual beli properti, sampai grup jejaring warga yang namanya "IMIP bersatu". Penelusuran ini memberi saya gambaran tentang kondisi sosial masyarakat di sana. Aman untuk adik saya yang freshgraduate. Apalagi setelah tiba di sana, adik dijemput perusahaan. Kemudian langsung tinggal di asrama dengan makan lengkap 3 kali sehari. Ulun bepadah lawan buhan pian yang hendak melamar gawian di Morowali, pastikan semua tiket berangkat ditanggung perusahaan. Kalau disuruh bayar tiket apalagi bayarnya melalui CS, lalu nomernya diblokir, itu jelas sebuah penipuan. Kadang juga perlu beli tiket sendiri, berangkat bukan sebagai pegawai IMIP, tetapi sebagai pegawai kontraktor, sub kontraktor, maupun sub sub kontraktor.
Jokosp Sp
Roti Gabin memang terkenal di Borneo. Ternyata terkenal juga di Morowali Sulawesi. Gabin di sini bisa sejajar dalam rak dengan produk dari Nissin, Nabati, Mayora dan Hongguan. Buat ganjal perut yang melilit karena bunyi cacing yang protes dalam perut memang cocok banget. Tapi juga dikenal di kalangan pemancing mania. Gabin bisa dicampur dengan jenis makanan ikan nila, kasih air sedikit dan putih telor. Dibuat seperti adonan roti dengan cara menekan-nekannya hingga liat. Ini jadi umpan ikan nila yang joss dan disukai, karena liat dan tidak mudah lepas dari mata kail.
Muh Nursalim
Ruwet. Pepimpin top itu lahir di tengah keruwetan. Pemimpin politik maupun masyarakat. Bahkan juga meneger bisnis. Krn di tengah2 keruwetan ia tau bagaimana cara mencari celah untuk tetap eksis. Sukarno - Hatta muncul di tengah2 perang dunia kedua. Liem Sio Long muncul di tengah krisis perubahan dr orde lama ke orde baru. Bahkan jokowi juga muncul pasca reformasi. Menyelinap di antara tokoh reformasi dan menjadi juaranya.
Hasyim Muhammad Abdul Haq
Kalau perampoknya pintar, tentu bukan ambil uangnya yang cuma Rp 20ribu. Pun bukan motor bututnya. Tapi pak Haji Ali sendiri yang "dibawa" untuk minta tebusan ke Pak Haji Ali Yunior. Tapi Pak Haji Ali sudah pasti orang yang sudah melewati segala hal di usianya. Dengan segala kekayaannya sekarang pun beliau memilih untuk hidup bersahaja. Naik motor ke masjid tiap datang waktu salat. Sudah bukan dunia lagi tujuannya. Tak ada perampok yang berani sama orang yang seperti itu.
ra tepak pol
Alhamdulillah 'ala kulli haal ❤️❤️❤️ ☝️☕️ ngopi time sedulur perusuh Menyalin ulang catatan komentar saya di CHD(I) DUA SATU Nanang @Murid SD Internasional, saya bukan seorang guru. Menurut saya guru adalah sebuah profesi serius yang di negeri ini dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, entahlah kapan mampu sama dengan seorang guru SD (diaspora Indonesia) di negeri orang bergaji 1.6M per tahun. Nanang @Murid SD Internasional ternyata tinggal di Kalimantan Selatan (maafkan saya) dan masyarakat Kalimantan, Aceh, Sumatera, Papua, Bangka Belitung, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi penghasil nikel dan propinsi lainnya, sepengetahuan saya, kita saksikan betapa banyak TAMBANG² RAKSASA di propinsi tersebut yang menghasilkan CUAN BER-TANKER ² RAKSASA, BER-TONGKANG ² RAKSASA tapi tak dirasakan membawa manfaat kesejahteraan ke penduduk setempat... entahlah saya tak tahu menjawab apa karena belum pernah berkuasa. Kalau Nanang @Murid SD Internasional mampu memberikan solusi perbaikan negeri ini silakan tulis disini untuk disupport perusuh² yang dekat dengan penguasa negeri ini... siapa tahu menjadi Zohran Momdani di pemilu akan datang... saya hanya rakyat jelata penggembira pemenang pemilu di pulau terpadat : Jawa
Lagarenze 1301
Pasti banyak yang seperti saya. Dulu, saya makan gabin tidak langsung ke mulut. Saya celupkan dulu ke teh. Setelah letoy baru ke mulut. Dulu, gabin hampir semua sama. Segi empat. Kering. Pipih. Dan, rasanya tawar. Gabin original. Sekarang, gabin sudah banyak varian. Ada yang dilumuri gula pasir, ada yang dua lapis dengan bagian tengahnya fla atau cokelat. Tak enak lagi dicelup-celup. Apakah gabin nama merek? Pernah ada produk biskuit merek Gabin yang beredar di Indonesia. Tapi, hadirnya jauh sesudah nama gabin populer di masyarakat. Konon, nama gabin lahir dari kata kabin. Di kabin pesawat atau kereta api sering disuguhkan jenis biskuit ini, sehingga lambat laun namanya menjadi gabin, mengikuti pengucapan lokal. Apakah gabin bernilai gizi? Hasil pengujian Open Food Facts terhadap sekeping gabin original 100 gram merek Nissin menunjukkan: *Energi 455 kcal. *Lemak 13,6 g. - Lemak jenuh 6,82 g. *Karbohidrat 72,7 g. - Gula 18,2 g. - Serat pangan 6,55 g. *Protein 6,55 g. *Garam 0 g. Gabin pastinya tak hanya cocok untuk diberikan ke Kijang. Para pengungsi banjir Sumatra juga sangat membutuhkannya. Bisa disimpan lama. Siapa tahu pemilik merek gabin yang saya sebutkan di atas, atau pemilik merek gabin lainnya, mau berbaik hati menyumbang untuk korban banjir Sumatra. Sebelum datangnya High Energy Biscuit (HEB) ala Murid SD Internasional.
Jokosp Sp
Lima pelawak lagi ngumpul santai sebelum masuk hotel di Morowali. Malamnya ada ngisi untuk acara pencapaian target produksi dan revenue sebuah perusahaan tambang. Dalam dialognya : +Ini tanah apa? +Kalau dekat Asti jadi tanah subur +Kok bisa? -Tancepin siapa saja... pasti jadi. Ha ha haaa +Kalau dekat sama Kiki jadi apa? -Ini tanah kecil +Kenapa? -Karena sudah dikapling-kapling pengusaha. Ha ha haaa. +Kalau dekat dengan ayu jadi tanah apa? -Jadi tanah gersang +Kok bisa? -Ya kelamaan gag ada yang nyirami. Ha ha haaaa. +Kalau dekat dengan Kondre? -Jadi tanah sengketa? +Kok bisa sih? -Iya sengketa di pengadilan agamanya belum selesai. Ha ha haaaa. +Kalau dekat Wendi jadi apa? -Tanah gundul +Kok bisa? -Iya itu tanah di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi yang hutannya habis digunduli untung tambang. Ha ha haaaaaaa......semua penonton rame tertawa, sambil kompak bilang "SETUJUUUUUU". "BANJIIIIIIIIIIIIRRRRRR....".
Wilwa
@Juve. Mengagumkan bahwa Tiongkok mencatat rekor surplus lebih dari 1 T USD ketika dihajar tarif ngawur Trump. Sebaliknya America makin tenggelam akibat inflasi akibat tarif ngawur Trump. Harga (bahan) makanan melonjak dua kali lipat. Dan ini memukul berbagai fast food ternama di America dan global. Kelas menengah kini menjadi miskin. Yang miskin menjadi miskin ekstrem. Shrinking wallet. Dompet makin menipis. Hanya isi 5 lembar Thomas Jefferson. Tak sanggup lagi membeli fast food yang sebelum tarif ngawur Trump rerata USD 5-8. Kini menyentuh USD 10 bahkan ada yang hampir USD 20 sekali makan. Dan fast food yang mulai kolaps di 2025 ini bukan fast food kaleng-kaleng. McDonald’s, Wendy’s, Burger King, Subway, Pizza Hut, KFC, Dairy Queen, Jack in the Box, Popeyes, Taco Bell, dll. Simak youtube ini: 15 Big Fast Food Chains That Are Falling Apart In 2025. 7 Nov 2025. EconoSilicon. The Great Fast Food Collapse Has Begun. 50% Rakyat Paman Sam makin miskin, penghasilan stagnan tapi harga-harga melonjak hingga tak bisa lagi makan fast food yang dulunya murah meriah bagi dompet 50% rakyat USA. Bila kondisi ini terus berlanjut dan tambah parah nampaknya akan terjadi gejolak yang menggoyang stabilitas keamanan dan politik negara super power ini. Only time will tell. ☕️
Lagarenze 1301
PERUSUH OF THE YEAR. Belakangan ini saya sering membaca komentar perusuh, semua, yang tayang dari awal pagi sampai awal malam dalam satu edisi CHD. Saya merasa komen-komen sekarang ini semakin banyak yang bernas. Tak hanya memberi informasi, tapi juga menginspirasi dan mengedukasi. Sangat beda dengan komen-komen tahun lalu atau awal tahun ini, yang sering terganggu hal-hal roaming. Komen tendensius, emosional, dan menghujat semakin berkurang. Nah, kalau saya ditanya siapa perusuh terbaik tahun ini, yang komen-komennya begitu makjleb, aktual, dan solutif, jawaban saya sama dengan yang ada di kepala Pak Dahlan Iskan. :) :)
Tiga Pelita Berlian
Menarik dicermati masuknya Pak Ahmad Ali ke PSI. PSI mirip dgn PKS saat awal berdirinya, yaitu banyak digawangi anak2 muda, PKS seperti Partai Kekurangan Sesepuh (dulu) .. lambat Laun PKS banyak digawangi sesepuh, sehingga kini lebih layak disebut Partai Kepenuhan Sesepuh, gejala yg sama tampaknya diikuti oleh PSI . Hmmm Seklangkong
Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
ADA GULA, ADA SEMUT.. Di setiap pusat bisnis—mall, gedung perkantoran, kawasan pabrik—selalu muncul ekosistem yang kukuh: para penjual makanan. Mereka hadir bukan karena izin, tapi karena kebutuhan. Pekerja dan pengunjung harus makan. Hukum pasar bekerja dengan tenang, nyaris tanpa pengumuman. Masalahnya muncul ketika pusat bisnis dan pemerintah tidak menganggap kebutuhan makan sebagai bagian dari sistem pendukung. Maka para penjual tumbuh “seenaknya”: trotoar jadi dapur, selokan jadi gudang, estetika dan higienitas bernegosiasi keras dengan perut lapar. Namun tidak semua begitu. Ada pusat bisnis yang rapi. Mereka merancang zona kuliner sejak awal: teratur, bersih, terjangkau. Penjual kecil diberi ruang, bukan diusir. Konsumen senang, lingkungan tertib, ekonomi lokal bergerak. Pelajarannya sederhana, ketertiban bukan soal melarang, tapi soal mengatur, merancang dan mempersiapkan sejak awal. ### Jika gula memang ada, semut pasti datang. Tugas pengelola dan pemerintah bukan mengeluh, melainkan menyiapkan piringnya.
ra tepak pol
Kesenjangan antara townsite perumahan dinas perusahaan besar dan perumahan rakyat di sekitarnya terjadi karena perbedaan mendasar berikut: - Tujuan dan Fungsi Operasional Pembangunan, - Sumber Pendanaan, - Standar Infrastruktur dan Fasilitas, - Eksklusivitas dan Keamanan, - Ketimpangan Pembangunan Wilayah, - Tanggung Jawab Penyelenggaraan Pemerintah Pusat dan Daerah
ra tepak pol
3. Sektor Minyak & Gas • PT Pertamina (Berbagai Lokasi): Hampir setiap unit pengolahan atau kilang besar Pertamina memiliki perumahan karyawan sendiri, contohnya: • Kilang Plaju (Sumatera Selatan): Memiliki kompleks perumahan karyawan yang kini mulai mengadopsi teknologi ramah lingkungan seperti PLTS. • Kilang Balikpapan (Kalimantan Timur): Memiliki kawasan perumahan dinas di sekitar lokasi kilang. • Pertamina Hulu Rokan (Riau): Mewarisi kawasan hunian modern dari era Chevron (dahulu dikenal sebagai Camp Chevron di Rumbai, Minas, dan Duri) untuk mendukung operasional Blok Rokan. • PT Badak NGL (Kalimantan Timur): Perusahaan pengolah gas alam cair ini membangun kompleks hunian khusus yang dikenal asri dan lengkap di Bontang. 4. Sektor Pengolahan Mineral (Smelter) • PT Indonesia Morowali Industrial Park (Sulawesi Tengah): Sebagai pengelola kawasan industri nikel terintegrasi, IMIP menyediakan hunian dan akomodasi masif bagi ribuan tenaga kerjanya di kawasan Morowali. • PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (Maluku Utara): Serupa dengan IMIP, IWIP menyediakan akomodasi khusus karyawan di area tambang dan smelter nikel mereka.
ra tepak pol
Townsite... Beberapa perusahaan besar di sektor energi dan sumber daya alam di Indonesia membangun kawasan hunian terpadu (sering disebut townsite atau kompleks dinas) guna menunjang produktivitas karyawan di lokasi yang jauh dari pusat perkotaan. 1. Sektor Mineral & Logam • PT Freeport Indonesia (Papua): Membangun kota Tembagapura dan kawasan Kuala Kencana di Kabupaten Mimika. Tembagapura terletak di dataran tinggi (2.000+ mdpl) dan menyediakan fasilitas lengkap bagi ribuan karyawan, mulai dari rumah sakit hingga sekolah. • PT AMMAN Mineral Nusa Tenggara (Sumbawa): Mengelola kawasan hunian atau townsite seluas sekitar 110 hektar di Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat, yang mampu menampung sekitar 4.000 orang. • PT INALUM (Sumatera Utara): Menyediakan fasilitas perumahan dan fasilitas umum bagi karyawan di Tanjung Gading, Kabupaten Batu Bara, untuk menunjang operasional pabrik peleburan aluminium. • PT Vale Indonesia (Sulawesi Selatan): Memiliki kompleks perumahan karyawan yang terintegrasi di kawasan Sorowako guna mendukung operasional tambang nikel terintegrasi. 2. Sektor Batubara • PT Kaltim Prima Coal (Kalimantan Timur): Menyediakan berbagai fasilitas kesejahteraan bagi karyawan, termasuk perumahan di kawasan operasionalnya di Sangatta. • PT Bukit Asam (Sumatera Selatan): Sebagai perusahaan BUMN tambang batubara, mereka memiliki kawasan perumahan dinas di Tanjung Enim bagi staf dan karyawan operasional.
Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
MOHAMAD ALI: KAYA TANPA PAMER, BESAR TANPA TERIAK.. Mohamad Ali adalah ayah dari Ahmad Ali, tokoh politik nasional. Namun kisah hidupnya justru jauh dari hingar-bingar politik. Ia adalah fondasi sunyi di balik nama besar itu. Lahir dan tumbuh di Wosu, Morowali, dari keluarga perantau Tionghoa bermarga Thio (Zhang), ia menyatu penuh dengan tanah dan budaya lokal. Kekayaannya tidak datang dari tambang, jabatan, atau proyek. Ia ditempa laut dan angin, berdagang kopra dengan kapal layar kecil ke Surabaya. Menantang ombak dua kali setahun. Saat kopra nyaris setara emas, ia bertahan dengan disiplin, keberanian, dan kesabaran. Pedoman hidupnya sederhana, bekerja keras, beribadah tepat waktu, dan tidak memamerkan hasil. Di usia 83 tahun, ia masih naik motor sendiri ke masjid yang ia bangun, dengan uang di saku sekadar cukup untuk bensin. Tidak takut, tidak berlebihan. Kesederhanaannya bukan pencitraan, melainkan kebiasaan yang konsisten puluhan tahun. Ia membuktikan bahwa kekayaan sejati bukan soal apa yang dimiliki, tetapi apa yang tidak perlu dipertontonkan.
Sapardi ST
Abah... kenapa Gak ikut sholat ashar berjamaah disitu bah... jadi nanti habis sholat ashar kan bisa dilanjutkan ngobrol atau bisa langsung pamit... biar Pak Haji Mohammad Ali Bapaknya Ahmad Ali senang dan tersanjung, karena masjid yang dibangun oleh Bapaknya Pak Ahmad Ali itu dipakai sholat oleh seorang mantan sesuatu.. Maaf Bah nggladrah.. Hehehehe.. salam sehat selalu ya Bah..
Liam Then
Saya berandai² ada investor yang mau cemplungkan 150 miliar, bangun universitas di Papua,kemudian jadikan @Murid sd internasional sebagai rektor. Ndak lama, mungkin 15-20 tahun, Papua bakal punya satu generasi yang jadi tulang punggung kemajuan Papua
Murid SD Internasional
(lanjutan terakhir) Jadi, Anda sudah tau, saya quit bukan dengan perasaan kalah, tapi dengan perasaan hormat. Hormati sektor yang: - tidak tunduk pada leverage, - tidak peduli reputasi, - dan tidak bisa dipercepat dengan tekanan. Dan yang paling penting... Kegagalan ini mengubah kriteria saya, bukan portofolio saya. Sejak hari itu, saya hanya masuk ke bisnis yang: - ritmenya bisa saya kendalikan, - kegagalannya cepat terbaca, - dan kesalahannya bisa saya perbaiki sebelum meng-eskalasi. Jadi saya bukan tertawa karena saya merasa kebal dari rugi. Saya tertawa karena saya belajar, ada batas kekuasaan uang. Dan bagi seseorang yang kebetulan dianugerahi berkah memegang uang dalam jumlah besar, itu adalah pelajaran yang jarang, mahal, sekaligus berharga. []
Murid SD Internasional
(lanjut jawaban Pak DI) Saya tidak gagal karena salah kalkulasi. Saya gagal karena model bisnisnya tidak mau tunduk pada logika kapital. Dan itu, adalah insight yang mahal. Uang bisa membeli aset. Tapi tidak semua sektor mau dan bisa, dipercepat oleh uang. Perkebunan... Punya jam biologis. Punya jam sosial. Punya jam politik. Dan semua jam itu lebih lambat, dari jam uang saya. Di titik itu saya sadar, sesuatu yang tidak pernah diajarkan siapapun: "Bahwa ada bisnis yang memang bisa dikalahkan dengan uang dan sistem. Bahwa ada bisnis yang hanya sanggup dikalahkan dengan kesabaran emosional dan kesabaran struktural. Dan ada bisnis... yang tidak bisa dikalahkan sama sekali, dan hanya bisa ditoleransi". Perkebunan nanas, masuk kategori yang terakhir itu. Bukan karena saya tidak mampu. Tapi karena cara menangnya tidak cocok, dengan cara saya hidup dan berpikir selama ini. Itu sebabnya saya tertawa. Sebab, kegagalan tersebut menyelamatkan saya dari kesombongan laten, yakni keyakinan diam-diam, bahwa semua masalah bisa dipaksa selesai, dengan kapital. Dan ternyata... tidak bisa. (bersambung)
Murid SD Internasional
PAK DI PERNAH LOSS 150 MILIAR DI USAHA NANAS?! DAN PAK DI CUMA KETAWA?! Seketika saya langsung terhenyak, dan terdiam. "Bisakah saya mewawancara Pak DI delapan menit?" tanya saya. "Tidak bisa," sahut dua punggawa Disway, Ki Ageng Muliyanto Krista dan Ki Ageng Leong Putu. "Anda baru menjadi perusuh 1-2 bulan. Minimal Anda harus terdaftar sebagai perusuh bersertifikat, dengan jam terbang berkomentar 1 tahun, dan pernah ikut gathering perusuh minimal 2 kali," jawab dua punggawa berambut putih tersebut. Akhirnya saya duduk istirahat, dan tertidur di depan gapura Disway yang penuh arca itu. Di dalam tidur, saya bermimpi mewawancarai Pak DI. Dan berikut, jawaban beliau. *** Saya tertawa bukan karena uangnya kecil. Kalau saya menertawakan Rp150 miliar yang menguap karena mengganggap itu uang kecil, jelas itu respon sombong. Saya tertawa, karena saya akhirnya melihat "clarity" / "kejernihan", yang tidak bisa saya beli, dengan harga yang lebih murah. Waktu saya masuk ke usaha perkebunan, umm... pertanian... nanas itu, saya tau, ada kemungkinan besar, saya akan gagal. Tapi saya tidak tau, "bagaimana" saya akan gagal. Di dunia bisnis, "bentuk kegagalan" itu jauh lebih penting, dibanding nominal kerugian. Nah, yang membuat saya tertawa adalah, momen ketika saya sadar: "Oh... ternyata masalahnya bukan cuaca, bukan pasar, bukan harga komoditas. Masalahnya adalah saya TIDAK BISA mengendalikan ritme waktu, di sektor satu ini". (bersambung)
Juve Zhang
@Wilwa.... Tiongkok keajaiban dunia ke 12....semakin di pencet Trumpet semakin berkibar pamornya.... surplus 1018 milyar USD sampai Nopember ini jelas rekor surplus Dagang terbesar sejak zaman PBB berdiri.....semua negara kagum gimana Tiongkok kena Tarif 50% sekarang ini malah surplus 1018 milyar USD....ini memang Negara paling Hebat di dunia Tiongkok sekarang paling kaya raya dan semua negara jual ke Tiongkok.... Tiongkok Taipan Dunia....Duitnya Koper koper gak tertampung lagi.....wkwkw
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:

Komentar: 134
Silahkan login untuk berkomentar