Menurutnya, perilaku perundungan tidak boleh dianggap hal biasa dalam proses tumbuh kembang anak, melainkan bentuk agresi berkelanjutan yang harus segera dihentikan.
"Perilaku perundungan sudah semestinya disikapi sebagai agresi berkepanjangan dari anak-anak yang mengekspresikan dirinya dengan cara berbahaya, sehingga harus dicegat secepat dan seserius mungkin," paparnya.
Pendekatan Hukum dan Keadilan Restoratif untuk Anak
Reza juga menilai bahwa menjadikan kasus bullying sebagai perkara pidana merupakan langkah masuk akal, namun harus memperhatikan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
"SPPA itu mengingatkan bahwa anak yang melakukan pidana tetap harus dipandang sebagai insan yang memiliki masa depan. Negara, termasuk masyarakat, membersamainya menuju masa depan," jelasnya.
Dalam proses hukum, Reza mendorong agar pendekatan yang digunakan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan anak.
"Di persidangan kasus korban bullying menjadi pelaku, saya selalu mendorong hakim agar menerapkan Bioecological Model (BM) dan Interactive Model (IM). BM meninjau lima lingkungan yang menaungi kehidupan anak. IM melihat anak dan lingkungannya berpengaruh satu sama lain," pungkasnya.
BACA JUGA:Cocokan Barang Bukti, Polisi Geledah Rumah NF, Terduga Pelaku Ledakan SMA 72 Jakarta
Namun, Reza mengakui bahwa pendekatan multidimensi seperti itu masih sulit diterapkan karena sistem hukum cenderung ingin cepat dan sederhana.
"Karena itulah, simpulan saya, putusan hakim tetap saja memakai format penyikapan yang sama dengan persidangan terhadap pelaku dewasa. Yakni, sulit bagi korban bullying mendapat peringanan sanksi. Dia tetap sendirian menjalani konsekuensi hukum atas ‘aksi kejahatan’-nya," tutupnya.