Apalagi, sejarah membuktikan bahwa peta adalah alat kekuasaan. Ia menceritakan bagaimana Belanda, dan VOC menaklukkan Nusantara karena lebih dulu memahami letak geografis dan sumber daya negeri ini lewat pemetaan rinci.
“Jan Pieterszoon Coen dulu menaklukkan Sunda Kelapa bukan karena kekuatan militernya, tapi karena dia tahu persis posisi strategis pelabuhan itu lewat peta. Sekarang, kekuasaan itu bentuknya digital - data spasial. Kalau data itu jatuh ke tangan asing, sama saja kita membuka semua rahasia rumah kita sendiri,” tutur Hendrajit.
BACA JUGA:BNPP RI Wujudkan Transformasi ASN Lewat Internalisasi Core Values BerAkhlak dan Pelatihan ESQ
Karena itu, menurut Hendrajit proyek semacam ini tidak bisa dilihat semata sebagai urusan teknis pemetaan. Peta, katanya, bukan sekadar gambar wilayah. Di dalamnya ada informasi tentang tambang, energi, jalur strategis, sampai aset militer.
“Jadi kalau yang memetakan adalah pihak asing, apalagi punya afiliasi dengan negara besar seperti Cina, ini langsung menyentuh soal kedaulatan,” ujarnya.
Hendrajit mengungkapkan ada potensi kebocoran spasial strategis, seperti lokasi mineral, PLTA, fasilitas militer, bila proyek ini dikerjakan oleh vendor asing.
Selain itu, pihak asing juga bisa melakukan pemantauan jarak jauh terhadap informasi geospasial dan peta wilayah Indonesia, melalui update sistem cloud atau telemetry.
“Indonesia juga akan mengalami ketergantungan teknologi, di mana setiap pembaruan peta bergantung vendor luar. Dengan kata lain, walaupun proyeknya “sipil”, fungsi duplikatif intelijen tetap mungkin terjadi, mirip kasus kebocoran data infrastruktur di Afrika oleh vendor asing,” ungkapnya.
BACA JUGA:Cuap-cuap Roy Suryo Cs di Polda Metro, Sindir Rezim Bengis buat Pemerintah Sebelumnya
Hendrajit pun menyarankan agar BIG meninjau ulang proses tender tersebut dengan melibatkan berbagai elemen strategis bangsa, bukan hanya kalangan teknokrat.
Menurutnya, proyek sebesar ini semestinya juga memprioritaskan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) agar tidak sepenuhnya bergantung pada pihak asing.
“Ya ditinjau ulang, terus diberi kesempatan kepada berbagai elemen strategis bangsa untuk ikut membahas itu,” ujarnya.
Apalagi, Hendrajit menduga, adanya “pesanan” dari tokoh tertentu agar proyek ini dikerjakan oleh korporsai dari Cina. “Banyak titipan dan sebagainya itu dalam kepentingan oligarki,” ujarnya.
Hendrajit mengingatkan kasus Indosat dan Whoosh, di mana kepentingan asing dan oligarki yang mendapat untung namun merugikan Indonesia.
“Indosat dilego ke Singapura melalui PT Temasek Holding. Saat itu, informasi strategis negara terbuka kepada pihak asing. Whoosh yang katanya B to B, praktiknya justru melibatkan dana APBN dan utangnya harus ditanggung Pemerintah,” ungkapnya.
Diketahui, BIG tengah melakukan proses tender sebuah proyek penting dan strategis nasional sejak Juli, 2025 lalu, yakni penyediaan data dasar Geospasial dan Peta Dasar Wilayah seluruh Indonesia.