BANDUNG, DISWAY.ID- Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Nanik Sudaryati Deyang mengingatkan bahwa bahwa praktik monopoli dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di satu wilayah sangat bertentangan dengan tujuan Presiden Prabowo Subianto saat merancang program Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Program MBG ini adalah program kemitraan berbasis yayasan yang didirikan untuk sektor sosial dan pendidikan, bukan untuk kepentingan bisnis apalagi untuk dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu,” kata Nanik saat Rapat Konsolidasi SPPG Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu 16 November 2025.
Nanik menolak praktik monopoli SPPG. Ia khawatir, jika dapur MBG itu dikuasai satu pihak, maka tujuan mulia program unggulan pemerintah Presiden Prabowo Subianto akan melenceng.
"Tidak setuju, jika ada pihak yang punya banyak SPPG. Harusnya dapur tidak boleh dimonopoli," ujarnya.
Semangat awal Presiden Prabowo memilih mitra dalam bentuk yayasan adalah agar pihak yang terlibat bergerak di sektor sosial dan pendidikan.
BACA JUGA:BGN Luncurkan Kampanye Nasional “Makan Bergizi Hak Anak Indonesia”
“Tujuan Presiden mengapa mitra dalam bentuk Yayasan? Supaya yang ikut Yayasan sosial dan pendidikan," kata Nanik.
Ia menekankan bahwa sekali lagi bahwa program MBG difokuskan untuk memberikan dampak sosial dan ekonomi masyarakat, bukan sekadar keuntungan bisnis para investor.
Nanik menjelaskan hal itu untuk menjawab berbagai pertanyaan masyarakat tentang dugaan praktik monopoli pengelolaan dapur SPPG untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Bandung Barat.
Dugaan itu muncul setelah beredar kabar bahwa sejumlah dapur MBG di Bandung Barat dikuasai mantan Bupati Bandung Barat, Aa Umbara Sutisna.
Menurut Nanik, berdasarkan aturan BGN, sebuah yayasan hanya boleh mengelola maksimal 10 dapur program MBG dalam satu provinsi. Aturan ini dibuat untuk mencegah terjadinya monopoli.
“Jika ada Yayasan yang memiliki lebih dari sepuluh SPPG, itu jelas melanggar aturan,” ujarnya.
Merujuk data resmi di BGN, SPPG yang dimiliki bersangkutan hanya 7 dapur. Namun, Nanik mengakui adanya potensi praktik mengakali aturan dengan menggunakan nama yayasan lain.
"Tercatat di website BGN hanya 7, tapi dia bisa saja mengakali pakai nama lain, karena dalam satu propinsi satu yayasan hanya diperbolehkan 10 dalam satu provinsi," ujarnya.