World Indonesianist Congress: Belajar dari Kawan

Selasa 02-12-2025,07:15 WIB
Oleh: Prof Jamhari Makruf, Ph.D.

Belum lama ini Kementerian Luar Negeri menyelenggarakan 7th World Indonesianist Congress (WIC) di kampus kami, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Ada momen simbolik di balik penyelenggaraan itu: WIC ke-7 bertepatan dengan peringatan 75 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, peristiwa diplomasi yang membentuk wajah politik Global South di abad ke-20.

Sejak 2019, WIC diadakan setiap tahun bekerja sama dengan perguruan tinggi—pertama di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan tema Visi Indonesia 2045, disusul tahun 2024 di Universitas Indonesia dengan tema Menuju Indonesia yang stabil, sejahtera dan maju. Tahun ini, WIC di UIII mengambil semangat KAA untuk satu isu besar: menguatkan solidaritas Global South.

Apa dan Siapa Indonesianist?

WIC bukan sekadar seminar tahunan. Forum ini mempertemukan para Indonesianist—ilmuwan, peneliti, diplomat, jurnalis, pebisnis, hingga analis kebijakan—yang satu kesamaannya: mereka menjadikan Indonesia sebagai objek perhatian intelektualnya. Ada yang melakukan riset panjang di Jawa, Papua, Kalimantan atau Aceh; ada yang meneliti relasi Islam dan negara, hukum adat, demokrasi Indonesia, ekonomi politik, hingga keberagaman budaya.

Ada pula yang tertarik pada Indonesia karena pengalaman kerja, diplomasi, proyek pembangunan, bahkan karena pernah menjadi pelajar pertukaran mahasiswa di sebuah kota kecil. Semua latar berbeda itu bertemu dalam satu identitas: mereka memahami Indonesia bukan dari buku teks semata, tetapi dari pengalaman hidup.

BACA JUGA:Diplomasi Tangan di Atas: Menguatkan Peran Global Indonesia

Tujuan WIC karenanya bersifat ganda dan strategis. Pertama, menghormati dan merawat hubungan dengan para Indonesianist yang kontribusinya memperkenalkan Indonesia secara ilmiah ke dunia. Kedua, belajar dari Indonesia versi orang luar. Sudut pandang mereka sangat berharga, sebab orang luar sering menangkap hal-hal yang justru terlewat dari pengamatan kita sehari-hari.

Di sinilah pepatah “gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak’’ menemukan relevansinya kembali. Untuk memahami diri secara jernih, adakalanya kita memang memerlukan cermin dari luar—sebuah perspektif yang tidak dibentuk oleh kedekatan emosional, melainkan oleh jarak intelektual. WIC menyediakan ruang reflektif itu.

Jejak Bandung 1955

Tema WIC tahun ini sengaja menghidupkan kembali semangat Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung 1955—sebuah peristiwa diplomasi global yang tidak hanya bersejarah bagi Indonesia, tetapi juga menjadi landasan kesadaran politik negara-negara yang kini dikenal sebagai Global South. Pesan inti KAA waktu itu sederhana namun tegas: anti-kolonialisme, kedaulatan nasional, solidaritas, dan hak menentukan nasib sendiri. Dari sanalah lahir Gerakan Non-Blok (Non-Alignment Movement) yang memberi opsi politik bagi negara-negara baru merdeka agar tidak harus tunduk pada blok adikuasa.

KAA juga memiliki jejak emosional yang panjang: Palestina hadir sebagai bangsa yang belum merdeka, dan hingga hari ini nasib Palestina masih menjadi bagian dari tanggung jawab moral dan diplomasi yang diwariskan Bandung.

BACA JUGA:Indonesia, Rumah Baru Islam Dunia: Cerita dari Kampus UIII

Lalu, apakah semangat KAA masih relevan? Para Indonesianist yang hadir dalam WIC sepakat menjawab: tidak hanya relevan, tetapi semakin penting. Dunia sedang bergeser menuju masa ketika economic protectionism meningkat, perang antar negara dan proxy war kembali marak, negara besar saling berebut pengaruh di ranah teknologi, politik, dan pembiayaan, sementara perubahan iklim menimbulkan ketidakpastian jangka panjang.

Negara-negara Global South berada tepat di pusaran kekacauan itu. Mereka tidak selalu memiliki kekuatan untuk menetapkan agenda global, namun mereka justru menjadi pihak yang paling terdampak oleh keputusan negara besar. Di situlah warisan Bandung 1955 menemukan panggung barunya.

Tarif Trump & Dilema Perubahan Iklim

Di WIC, salah satu sesi yang paling memantik perdebatan adalah soal perang tarif yang dimulai Presiden Donald Trump. Bagi negara besar, tarif hanyalah alat untuk menekan lawan dagang. Namun bagi negara berkembang, efeknya seperti domino. Ketika tarif atas komoditas tertentu naik, harga ekspor ikut terkerek, produk kehilangan daya saing, permintaan menurun, industri terganggu, dan rantai pasokan global akhirnya ikut goyah. 

Investor asing yang biasa mengambil keputusan jangka panjang pun menahan diri. Tidak karena tidak percaya Indonesia atau negara Global South, melainkan karena ketidakpastian ekonomi global membuat kalkulasi investasi menjadi penuh risiko.

BACA JUGA:Merebut Panggung Internasional: UIII, Intelektual Muslim Indonesia dan Masa Depan Pendidikan Islam

Tags :
Kategori :

Terkait