Merebut Panggung Internasional: UIII, Intelektual Muslim Indonesia dan Masa Depan Pendidikan Islam

Merebut Panggung Internasional: UIII, Intelektual Muslim Indonesia dan Masa Depan Pendidikan Islam

Prof. Jamhari Makruf, Ph.D. - Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia –-dok disway-

JAKARTA, DISWAY.ID - Mengapa Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) didirikan? Pertanyaan itu kerap muncul setiap kali seseorang mendengar nama kampus baru kami di Depok, Jawa Barat. Bukankah sudah ada puluhan UIN dan IAIN di Indonesia? Pertanyaan itu wajar. Tetapi di baliknya ada kebutuhan yang jauh lebih besar: mengangkat Islam Indonesia ke panggung global.

Kampus UIII berdiri di atas lahan 142 hektar—dua danau alami, lanskap hijau, dan arsitektur post-modern yang dirancang untuk menatap masa depan. Wakil Presiden ke-10 dan 12, Jusuf Kalla, yang juga Ketua Wali Amanah UIII, pernah menegaskan: “UIII harus berorientasi ke masa depan—bahkan arsitekturnya pun harus mencerminkan masa depan.”

Didirikan melalui Peraturan Presiden pada 2016, UIII memikul tiga misi utama. Pertama, memperkenalkan ilmuwan-ilmuwan Indonesia di bidang agama, sosial, dan politik ke panggung global. Kedua, menegaskan Islam wasathiyah—Islam yang moderat, dialogis, dan rasional—sebagai wajah Islam Indonesia. Ketiga, memperkuat peran Indonesia dalam percaturan keilmuan dunia.

UIII memang dibangun bukan sekadar untuk menambah daftar universitas Islam, tetapi untuk bersaing di gelanggang internasional. Sejak 2021, UIII membuka program pascasarjana magister dan doktor pada empat fakultas: Studi Islam, Ilmu Sosial, Ekonomi dan Bisnis, serta Pendidikan. Separuh mahasiswanya adalah pelajar internasional dari 55 negara di lima benua. Tahun 2023, gelombang pertama alumninya sudah kembali mengabdi di negeri masing-masing.

BACA JUGA:Kementerian PU Siap Bangun Ulang Ponpes Al Khoziny di Lokasi Baru, Dana Disiapkan

BACA JUGA:Polisi Tipu Anak PNS Tangerang agar Masuk Akpol, Polda Banten Tetapkan DPO Zaenal Arifin!

Ada pula program-khusus untuk perempuan Afghanistan dan mahasiswa Palestina—sebuah bentuk nyata solidaritas dan diplomasi pendidikan yang menegaskan karakter kemanusiaan Islam Indonesia.

Tantangan Global

Secara global, perguruan tinggi Islam Indonesia belum cukup dikenal. Memang ada UIN Jakarta, UIN Malang, UIN Sunan Kalijaga, dan lainnya yang menerima mahasiswa asing, tetapi jumlahnya masih kecil dibandingkan universitas umum. Menariknya, sebagian besar mahasiswa asing justru mengambil jurusan umum—ekonomi, manajemen, komunikasi—bukan studi keislaman.

Padahal, kekayaan intelektual Islam Indonesia jauh melampaui dinding madrasah. Dalam istilah sejarawan Marshall Hodgson, peradaban Islam selalu berkembang melalui “jaringan keilmuan lintas wilayah.” Indonesia adalah salah satu simpul penting jaringan itu, meski sering terlupakan.

Jejak Intelektual Muslim Indonesia

Sejak abad ke-19, ulama-ulama nusantara telah memainkan peran penting dalam percakapan keilmuan Islam dunia. Syaikh Nawawi al-Bantani, misalnya, menjadi guru besar di Masjidil Haram dan menulis tak kurang dari 115 karya dalam berbagai disiplin—tafsir, hadis, fiqih, dan tata bahasa Arab. Snouck Hurgronje, orientalis Belanda yang meneliti Mekah pada akhir abad ke-19, bahkan mencatat pengaruh luas Nawawi di kalangan pelajar Asia Tenggara.

Jaringan keilmuan itu diteruskan oleh Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi—guru bagi generasi ulama pembaharu seperti Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan. Dalam riset klasik Prof. Azyumardi Azra (The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, 2004), ia menunjukkan bagaimana jaringan ulama Mekah-Jawi menjadi fondasi bagi munculnya modernisme Islam di Indonesia.

BACA JUGA:DPR Usul Mobil Pengantar Makan Bergizi Gratis Dipasang GPS, BGN Setuju!

BACA JUGA:COP30 di Belem: Brasil Serukan COP of Truth, Indonesia Tegaskan Aksi Nyata dan Kepemimpinan Iklim

Masuk ke abad ke-20, muncul Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar karyanya bukan sekadar tafsir pertama dalam bahasa Indonesia, tetapi juga representasi Islam yang kontekstual dengan modernitas. Sebagaimana dicatat John L. Esposito dalam Islam and Politics (1999), Hamka menjadi figur penting dalam menjembatani Islam dan modernitas di Asia Tenggara.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Close Ads