Merebut Panggung Internasional: UIII, Intelektual Muslim Indonesia dan Masa Depan Pendidikan Islam

Merebut Panggung Internasional: UIII, Intelektual Muslim Indonesia dan Masa Depan Pendidikan Islam

Prof. Jamhari Makruf, Ph.D. - Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia –-dok disway-

Nama-nama seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan Quraish Shihab kemudian melanjutkan tradisi itu. Pemikiran mereka kini dikaji dalam disertasi dan jurnal internasional dari Melbourne hingga Leiden. Generasi baru intelektual Indonesia pun mulai mengajar di universitas dunia—Mun’im Sirry di University of California, Santa Barbara; Muhammad Ali di UC Riverside; Nadirsyah Hosen di Melbourne Law School; Ismail Fajri Alatas di NYU, New York.

Namun, meski diaspora intelektual ini tumbuh, Indonesia sebagai pusat rujukan ilmu Islam belum menempati posisi sepadan dengan jumlah umatnya.

Mengapa Belum Dikenal?

Ada dua sebab utama. Pertama, bahasa. Bahasa Indonesia belum menjadi bahasa ilmiah dalam forum Islam internasional. Bandingkan dengan Arab, Persia, Urdu, atau Turki yang kerap digunakan dalam konferensi keislaman. Saya pernah bertanya kepada panitia sebuah forum internasional mengapa bahasa Indonesia tidak dipakai, padahal muslim terbesar di dunia ada di sini. Jawabannya sederhana: tak ada penerjemah, dan jarang lembaga filantropi Indonesia mendanai kegiatan ilmiah luar negeri.

Kedua, kurangnya filantropi akademik. Dunia Islam memiliki tradisi waqf al-‘ilm sejak masa klasik, sebagaimana dijelaskan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah—bahwa peradaban tumbuh dari kombinasi antara pengetahuan dan dukungan ekonomi. Di Barat, universitas besar hidup dari endowment funds; di dunia Muslim modern, Al-Azhar dan IIUM Malaysia mampu bertahan karena jejaring waqf internasional. Indonesia, sayangnya, belum mengembangkan tradisi filantropi akademik pada skala global.

BACA JUGA:DPRD DKI Sahkan APBD 2026 Rp81,3 Triliun, Subsidi Pangan Murah Dipangkas

BACA JUGA:Besok Roy Suryo Diperiksa sebagai Tersangka Tudingan Ijazah Palsu Jokowi

Diplomasi Pengetahuan

Maka pendirian UIII bukan hanya soal kampus baru, melainkan strategi diplomasi pengetahuan (knowledge diplomacy). Konsep ini dikembangkan oleh Jane Knight, pakar pendidikan tinggi internasional, untuk menjelaskan bagaimana universitas menjadi sarana hubungan antarbangsa berbasis keilmuan, bukan kekuatan militer atau ekonomi.

UIII mengambil posisi itu: menjadikan pendidikan Islam Indonesia sebagai sarana diplomasi lunak (soft power). Dengan mahasiswa dari 55 negara, interaksi lintas budaya yang terjadi setiap hari di kelas-kelas UIII bukan sekadar akademik, melainkan pertukaran peradaban.

Indonesia, dengan masyarakat religius dan multi-etnik, menjadi lahan subur bagi dialog antara Islam dan kebudayaan. Dalam istilah Seyyed Hossein Nasr (Knowledge and the Sacred, 1981), pengetahuan sejati harus “berakar dalam wahyu, namun berbuah di dunia modern.” Inilah semangat yang hendak dibangun UIII: keilmuan yang tidak tercerabut dari nilai spiritual, tapi mampu berbicara dalam bahasa sains dan kemanusiaan universal.

Islam Indonesia sebagai Model

Karya-karya sarjana Indonesia banyak menunjukkan bahwa Islam di nusantara memiliki karakter khas: damai, berimbang, menghargai budaya lokal. Clifford Geertz menyebutnya sebagai “Islam abangan, santri, dan priyayi”—tiga corak religiositas yang saling berdialog. Robert Hefner kemudian menegaskan bahwa Islam Indonesia adalah civil Islam, Islam kewargaan yang mendukung demokrasi.

UIII berupaya menjadikan karakter itu sebagai model akademik. Di kampus ini, para mahasiswa dari Timur Tengah, Afrika, Asia Tengah, hingga Eropa, mempelajari bagaimana Islam bisa tumbuh dalam masyarakat demokratis, plural, dan berakar lokal. Di sinilah letak nilai strategis UIII. Ia menjadi jendela dunia untuk melihat Islam Indonesia—bukan Islam dalam bentuk seragam, melainkan mosaik pengalaman sosial-keagamaan yang kaya.

BACA JUGA:Gubernur Aceh Muzakir Sampaikan Selamat kepada Tito Karnavian atas Penganugerahan Gelar Adat dari Wali Nanggroe

BACA JUGA:Kritik Keras Natalius Pigai: Lembaga Pendidikan Dinilai Tak Serius Tangani Kasus Bullying

Tentu, Islam Indonesia bukan tanpa kekurangan. Tapi di UIII, keberagaman itu justru menjadi kekuatan: ruang terbuka untuk membicarakan perbedaan, membandingkan pengalaman, dan mencari titik temu. Sebagaimana dikatakan Nurcholish Madjid, “Islam adalah din al-hadarah”—agama peradaban.

Indonesia adalah laboratorium hidup bagi religiositas dan keberagaman. Melalui UIII, laboratorium itu kini diperluas ke skala global. Kita mungkin masih harus berjuang panjang agar Bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah di forum internasional, agar filantropi kita berani mendanai riset global, agar ilmuwan kita diakui sejajar dengan kolega dari Oxford atau Cairo. Tapi setiap langkah kecil berarti.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Close Ads