Bahkan, ada tradisi unik yang muncul: anak-anak menulis “surat cinta” berisi permintaan menu untuk hari berikutnya, kemudian diam-diam meletakkannya di dalam ompreng.
"Kadang anak-anak itu request. Ditulis di kertas, maunya apa," ujar Winarti sambil tertawa.
Namun, tentu saja permintaan itu tetap diseleksi sesuai standar gizi yang ditetapkan program.
Lebih dari Sekadar Makan Siang
Winarti berkali-kali menegaskan bahwa MBG bukan hanya memberi asupan gizi, tetapi juga membangun kebiasaan. Baik mencuci tangan, berdoa bersama, serta makan dengan tertib.
BACA JUGA:Detik-Detik Kronologi Penangkapan Dewi Astutik, Lagi di Lobi Hotel Bareng Pria Misterius
"Justru anak-anak itu nanya, ‘Kapan nih makan?’ kalau sudah mendekati jamnya," tuturnya.
Bagi mereka, waktu makan siang menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Program ini juga memberi dampak positif bagi orang tua.
"Orang tua merasa terbantu. Tidak harus repot-repot lagi menyiapkan sarapan. Mereka lebih tenang karena yakin anak-anak sudah dapat makan di sekolah," katanya.
Soal keterlibatan orang tua, Winarti menilai pengelolaan tetap harus dilakukan oleh tenaga profesional demi memastikan higienitas dan standar gizi.
Membentuk Kebiasaan, Menumbuhkan Rasa Peduli
Bagi Winarti, MBG bukan semata program pemerintah, tetapi wujud kepedulian terhadap tumbuh kembang anak.
"Kalau telat sedikit saja, mereka langsung nanya, ‘Mana nih MBG-nya?’ Sekarang mereka sudah terbiasa,” ujarnya menutup pembicaraan.
Setiap pukul sebelas siang, sekolah ini kembali menjadi panggung kecil yang penuh keceriaan anak-anak berlarian dengan ompreng di tangan, menanti sepiring gizi yang ikut membangun masa depan mereka.