Identitas keislaman yang kuat justru menjadi fondasi bagi kedewasaan demokrasi, sementara demokrasi memberi ruang agar agama tampil sebagai sumber nilai, bukan alat dominasi.
Stanley R. Sloan (2020) mencatat bahwa kekhasan Indonesia terletak pada kemampuannya merawat keseimbangan tiga pilar: agama, demokrasi, dan kemanusiaan.
Ketika banyak negara terjebak ekstremisme sekular maupun ekstremisme agama, Indonesia memilih jalur moderasi berbasis civic virtue — menjadikan iman sebagai etika sosial, bukan sebagai instrumen untuk menang-menangan simbolik.
Itulah yang membuat suara Indonesia, terutama ketika berbicara mengenai konflik global, memiliki legitimasi moral, bukan hanya legitimasi politik.
BACA JUGA:Wajib Baca! 3 Shio Jadi Anak Emas di Tahun Kuda 2026: Hoki Lancar, Rezeki Deras
BACA JUGA:Tren Lipstik 2026, Bermain di Warna Pastel Bakal Lebih Berkilau
Kunjungan Liga Muslim Dunia ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengkonfirmasi pengakuan internasional terhadap model ini.
Indonesia bukan negara adidaya yang memengaruhi dengan kekuatan senjata atau ekonomi; kekuatan Indonesia adalah keteladanan sosial — bahwa kerukunan, dialog lintas iman, dan penghormatan martabat manusia dapat hidup berdampingan secara nyata, bukan utopis.
Di era saat banyak negara saling mengintimidasi, Indonesia menawarkan alternatif: kepemimpinan yang merawat, bukan menguasai. Dan justru karena itulah ia bertahan lama.
Peran Institusi Pendidikan: Dari Wacana ke Aksi
Jika akhlak dan kejujuran adalah modal perdamaian global, maka pendidikan adalah infrastruktur implementasinya.
Dunia tidak kekurangan wacana normatif tentang kerukunan, tetapi kekurangan sistem pendidikan yang sungguh-sungguh menumbuhkan karakter moral.
UNESCO Future of Education Report (2021) menegaskan bahwa masa depan umat manusia akan ditentukan oleh kemampuan lembaga pendidikan menumbuhkan ethical resilience — ketahanan moral untuk menolak kebohongan, intoleransi, manipulasi digital, dan budaya kekerasan yang kini semakin ter-normalisasi.
Di titik inilah institusi pendidikan Islam memegang posisi strategis.
Pesantren dan universitas Islam memiliki modal epistemik yang tidak dimiliki sistem pendidikan sekuler murni: tradisi ulūmul akhlāq, kedisiplinan adab dalam proses belajar-mengajar, hubungan guru–murid berbasis ketulusan, dan orientasi ilmu yang bersifat li khidmati al-nās — ilmu untuk pengabdian kemanusiaan.
Jika karakter ini dirawat, pendidikan Islam bukan hanya tempat transfer pengetahuan, tetapi mesin pembentuk karakter peradaban.
BACA JUGA:Mohamed Salah Sindir Liverpool: 'Saya Merasa Dijebak dan Tak Lagi Diinginkan'