JAKARTA, DISWAY.ID - Lenny Damanik dan Eva Meliani Br. Pasaribu, 2 korban kekerasan yang diduga melibatkan anggota TNI mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Lenny Damanik, korban dalam kasus penyiksaan terhadap anak MHS (15). Sementara Eva Meliani Br. Pasaribu, korban dalam kasus pembunuhan berencana dengan pembakaran yang menewaskan satu keluarga di Kabupaten Karo.
BACA JUGA:Lebih dari Dua Dekade Melantai di Bursa Efek Indonesia, Harga Saham BBRI Telah Naik 48 Kali
BACA JUGA:Hasil Lab SPPG Keluar, Makanan MBG di Meruya Selatan Dipastikan Bebas Bakteri
Keduanya mengajukan uji materiil melalui kuasa hukum dari LBH Medan bersama Kontras, Imparsial, dan Themis Indonesia Law Firm.
Permohonan tersebut telah tercatat dengan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 265/PUU/PAN.MK/AP3/12/2025 tertanggal 15 Desember 2025.
Dalam permohonannya, para pemohon menilai penanganan perkara di Pengadilan Militer tidak mencerminkan keadilan.
"Judicial Review dilatarbelakangi atas penanganan perkara di Pengadilan Militer yang sangat jauh dari Keadilan," kata Direktur LBH Medan Irvan Saputra dalam keterangannya, Rabu, 17 Desember 2025.
BACA JUGA:Sukurin, 15 WN China Digelandang ke Kantor Imigrasi Ketapang Usai Nekat Serang TNI!
Salah satu yang dipersoalkan adalah frasa “mengadili tindak pidana” dalam Pasal 9 angka 1 UU Peradilan Militer yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak konstitusional korban, terutama ketika dugaan tindak pidana umum oleh anggota TNI tetap disidangkan di peradilan militer.
Para pemohon menyebut kondisi tersebut bertentangan dengan Pasal 65 ayat (2) UU TNI. Mereka mencontohkan perkara penyiksaan terhadap anak MHS yang disidangkan di Pengadilan Militer I-02 Medan dengan terdakwa Sertu Riza Pahlivi, yang diputus 10 bulan penjara setelah sebelumnya dituntut satu tahun.
"Putusan tersebut ringan, terdakwa Sertu Riza Pahlivi, hanya diputus 10 bulan penjara setelah sebelumnya dituntut satu tahun," paparnya.
Lebih lanjut, Irvan mengatakan pemohon juga menyoroti proses persidangan yang disebut membatasi akses publik, antara lain pemeriksaan terhadap pengunjung sidang, kewajiban meninggalkan KTP, serta larangan perekaman.
"Tuntutan dan putusan hakim Pengadilan Militer Medan merupakan pengkhianatan terhadap keadilan dan sangat merugikan para korban yang telah kehilangan nyawa anaknya/keluarganya," tukasnya.
BACA JUGA:Waduh! 15 WN Cina Serang TNI di Kawasan Tambang Emas Kalbar, Bawa Air Softgun dan Sajam!