Ijtihad KH Imam Jazuli untuk NU dan PKB

Jumat 26-12-2025,19:33 WIB
Oleh: KH Imam Baihaqi

KETIKA PBNU mengalami dinamika internal yang cukup keras, muncul sosok KH Imam Jazuli dengan gerakan dan ide-ide progresifnya sebagai penanda bahwa politik dan pergerakan di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) masih memiliki landasan ideologis yang kokoh. Keterlibatan Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia ini dalam kemelut internal PBNU menurut kesaksian penulis bukanlah sebuah upaya mencari panggung, melainkan sebuah manifestasi dari "Ghirah" (semangat) dan dedikasi seorang santri yang tak ingin rumah besarnya kehilangan arah.

Tentu saja sebelum menjatuhkan pilihannya untuk mendukung supremasi syuriah, jauh sebelum itu, tepatnya pasca Muktamar NU yang menetapkan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai ketua umum, langit di atas Lampung dan Jakarta tampak mendung. Ketegangan antara PBNU dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi pemandangan yang mengkhawatirkan bagi mereka yang memahami sejarah. 

Indikasi ketegangan muncul dari berbagai peristiwa, termasuk teguran PBNU kepada pengurus cabang tertentu dan arahan politik Gus Yahya yang dianggap kurang sejalan dengan aspirasi PKB, yang berpuncak pada absennya Cak Imin di acara pelantikan PBNU di Kalimantan Timur. Beberapa pengamat mengaitkan ketegangan ini dengan persepsi bahwa kepengurusan PBNU saat itu kurang mengakomodir kader PKB.

Realitas itulah, ditambah pandangan bahwa periode kepemimpinan Gus Yahya dinilai minim program konkret dan sering diliputi kegaduhan internal. KH Imam Jazuli melihat fenomena ini bukan sekadar friksi antarelite, melainkan sebuah pertarungan ideologi yang serius.

PKB: Rahim Ideologis NU

Hal fundamental yang menguatkan keyakinan KH. Imam Jazuli adalah kesadaran historis bahwa PKB lahir dari rahim NU dan berfungsi sebagai alat politik satu-satunya milik NU. Fakta sejarah ini, sayangnya, seringkali terabaikan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan persatuan antara NU dan PKB dalam mengemban amanat umat.

Bagi Kiai Imam, panggilan PBNU terhadap pengurus daerah hingga absennya tokoh-tokoh kunci dalam agenda nasional organisasi bukan sekadar drama politik. Hal ini adalah sinyal retaknya sinergi antara "Jam’iyah" dan "alat politiknya". Beliau menyadari bahwa jika PBNU menjauh dari PKB, maka ada mata rantai sejarah yang sedang dipaksa putus. 

BACA JUGA:Apresiasi untuk Tujuh Prestasi Gus Yahya di PBNU

BACA JUGA:Polemik PBNU: Pelanggaran Berat, Bukan Perselisihan

Kesadaran itulah yang menggerakkan beliau untuk mengambil sikap kritis. Sikap kritis yang tidak lahir dari kebencian, melainkan dari kegelisahan seorang pecinta yang melihat kekacauan di tengah kepemimpinan yang minim program nyata dan seringkali gaduh. Pada akhirnya KH Imam Jazuli memotori dalam barisan Presidium Muktamar Luar Biasa (MLB) bersama tokoh-tokoh seperti Gus Salam Shohib adalah ijtihad politik yang berat namun harus diambil. 

Beliau meyakini bahwa PKB adalah anak kandung yang lahir langsung dari rahim NU. Sebagai satu-satunya partai yang didirikan secara resmi oleh PBNU, PKB adalah alat perjuangan politik yang sah bagi warga Nahdliyin. Kiai Imam dengan tegas mengingatkan adanya "tangan-tangan gelap" yang berupaya mengebiri hubungan ini. 

Beliau melihat upaya menjauhkan NU dari PKB sebagai pelemahan sistematis terhadap amanat jamaah. Maka, keterlibatan beliau dalam menyikapi kebijakan Gus Yahya adalah bentuk perlawanan terhadap upaya deparpolisasi NU yang dianggapnya tidak kontekstual dengan sejarah pendirian partai tersebut.

Keyakinan ini semakin kokoh berkat wasiat almarhum ayahandanya, KH Anas Sirojudin. Sang ayah pernah berkisah tentang Kiai Sanusi Gunung Puyuh Sukabumi, yang meskipun menjalankan ibadah ala NU secara kaffah (menyeluruh), memilih jalur politik di luar NU (Masyumi), yang kemudian melahirkan Ormas PUI (Persatuan Umat Islam). 

Menurut pandangan ayahandanya, PUI bukanlah NU sejati karena belum kaffah dalam ber-NU secara politik. Analogi ini menegaskan pandangan bahwa menjadi NU yang kaffah berarti juga mendukung dan berjuang melalui PKB sebagai alat politik resminya. Lebih dari itu, realitas membuktikan bahwa hanya PKB yang saat ini menjadi alat politik NU dan konsisten berjuang total untuk kepentingan pesantren dan NU secara keseluruhan.

Karena itu, dalam kacamata Kiai Imam, berdasarkan amanat Sang Ayah, menjadi Nahdliyin yang "Kaffah" (totalitas) berarti menyelaraskan antara amaliah agama dan ijtihad politik. Jika PKB adalah satu-satunya alat politik yang terbukti konsisten memperjuangkan pesantren dan NU, maka membesarkannya adalah sebuah kewajiban ideologis. Inilah yang mendasari langkah beliau: sebuah loyalitas yang melampaui kepentingan pribadi, sebuah kepatuhan pada wasiat orang tua yang memandang NU dan PKB sebagai satu kesatuan nafas yang tak terpisahkan.

Kategori :