Dedikasi dan Idealisme
Di tengah hiruk pikuk akan tuduhan pragmatisme, KH Imam Jazuli tetap tegak dengan integritasnya. Beliau tidak sedang mengincar kursi di PBNU, tidak pula berhasrat pada posisi strategis di PKB, apalagi kursi di birokrasi pemerintahan. Dunia pesantren adalah pelabuhan terakhir dan utamanya. Seluruh tenaga, pikiran, dan sumber daya yang beliau miliki telah diikrarkan untuk pengembangan pesantren.
Tampak jelas bahwa Kiai Imam telah melampaui segala urusan materi dan benar-benar selesai dengan urusan duniawi tersebut. Kerelaan beliau menggunakan dana pribadinya sendiri, bahkan tidak sedikit jumlahnya, untuk menegakkan prinsip-prinsip yang beliau yakini menjadi bukti kuat akan hal ini. Di luar itu, sependek pengetahuan penulis, Kiai Imam tidak berkenan menerima infak, sodaqoh, wakaf, atau hadiah dari pihak manapun, termasuk dari walisantri, publik, apalagi tokoh politik.
BACA JUGA:Saatnya yang Muda Kembali Memimpin PBNU
BACA JUGA:Mencari Kandidat Ketua Umum PBNU Selanjutnya
Kiai Imam, yang kini mengasuh lebih dari 5000 santri di empat pesantren, juga menegaskan pilihannya untuk tetap berada di jalur kultural. Beliau menjelaskan bahwa dengan kesibukan mengelola pesantren, sangat sulit baginya untuk terlibat aktif dalam organisasi formal. Maka, tak berlebihan selama delapan tahun terakhir, beliau konsisten tidak menghadiri acara seremonial apapun, kecuali untuk momen-momen krusial PKB, seperti saat memberikan sambutan di acara ulang tahun PKB di JCC, Muktamar PKB di Bali, acara FPTP PKB, serta pertemuan kultural dengan presidium MLB.
Sikap ini menunjukkan komitmen beliau dalam menjaga keseimbangan antara tanggung jawab pendidikan pesantren dan kontribusi politik melalui pendekatan kultural yang kuat. Jika hari ini beliau bersuara lantang, itu karena cintanya yang mendalam pada NU. Bukankah cinta sejati seringkali menuntut pengorbanan yang total? Tindakannya secara konsisten mencerminkan dedikasi yang tulus terhadap nilai-nilai luhur, bukan demi keuntungan pribadi.
Maka keterlibatannya dalam lingkaran kritis PBNU adalah cara beliau menjaga agar organisasi ini tetap berjalan di atas rel yang benar. Beliau memilih jalan yang beresiko dari puja-puji kekuasaan demi memastikan bahwa rumah besar NU tetap menjadi pengayom bagi pesantren dan partai yang lahir dari keringat para ulamanya.
KH Imam Jazuli adalah potret kiai muda yang punya pendirian, bahwa politik sebagai alat khidmah (pelayanan), bukan sebagai tangga pemuas ambisi. Kehadirannya dalam dinamika internal PBNU memberikan warna bahwa dalam setiap kritik, selalu ada doa dan harapan agar NU kembali pada khitmahnya yang sejati: sebagai pelayan umat dan penjaga gawang aspirasi politik kaum santri. (*)
*) Ketua OC Presidium MLB NU.