Laut Jaya
DUA hari penuh saya mencari info: di mana masih ada pabrik kontainer di Indonesia. Siapa tahu mereka bisa ikut mengatasi krisis kontainer sekarang ini. Agar para eksporter kita tetap semangat memperkuat ekonomi.
Saya juga memelototi komentar pembaca Disway lebih jeli. Siapa tahu ada info tentang itu –seperti info tentang Agustinus Wibowo dulu. Kok tidak ada. Jangan-jangan pembaca Disway juga sudah berusaha mencari tahu, tapi tidak menemukannya.
Saya pernah punya teman yang memiliki pabrik kontainer. Besar sekali. Yang terbesar di Indonesia. Ia meninggal dunia bulan lalu. Tidak punya anak kandung. Ia punya anak angkat –perempuan. Saya pun menghubungi suami Si Anak Angkat.
"Pabrik kontainer beliau sudah tutup. Sudah lama sekali," ujarnya.
Sudah tutup? Sudah lama sekali? Teman saya itu tidak pernah bercerita. Pabrik kontainer memang hanya satu satu dari banyak bisnisnya yang lain.
Krisis kontainer sekarang ini mau tidak mau mengingatkan kita bahwa de-industrialisasi benar-benar terjadi di Indonesia. Kita pernah punya banyak sekali industri kontainer. Pabrik itu tutup satu per satu.
"Kami sudah mencoba bertahan. Akhirnya tutup juga. Kami tutup yang terakhir," ujar sang suami.
Dari keterangan itu jelaslah kita tidak punya lagi pabrik kontainer. Tapi siapa tahu keterangan itu salah. Siapa tahu masih ada yang tersisa. Atau jangan-jangan justru sudah ada pabrik baru.
Maka saya pun meneruskan membaca komentar Disway yang hampir 300 itu. Sekalian mencari calon ''pemenang tanpa tanda jasa'' komentar Disway.
Kian membaca ke bawah kian lupa tujuan utama saya: mencari info kontainer. Saya terlena oleh komentar-komentar yang bikin saya tersenyum-senyum sendiri. Bahkan ada satu dua yang bikin tawa saya meledak.
Begitulah tiap hari. Saya sangat terhibur oleh komentar di Disway. Terutama karena perang cebong-kampretnya sudah kian reda.
Saya bangga di tengah perang medsos itu kita tidak kehilangan rasa humor. Itu penting. Jangan lupa bahagia. Apalagi sudah terlihat ada humor yang nadanya mengejek diri sendiri. Itu kemajuan besar. "Kemampuan menertawakan diri sendiri adalah puncak peradaban manusia" –jangan juga terlalu percaya kata-kata saya itu.
Saya pun minta maaf ketika tiba-tiba ada komentar yang menemukan kesalahan saya: wanita kan harus ditulis ''dia'', kok ditulis ''ia'' –kata ganti yang mestinya untuk laki-laki.
Saya juga minta maaf kadang memilih terlalu banyak ''komentar terbaik''. Mengapa tidak satu saja. Itu sebenarnya rahasia. Tapi ya sudahlah, saya ungkapkan saja di sini: itu cara saya untuk memaksakan diri agar membaca semua komentar tanpa harus berpikir keras! Bayangkan kalau saya harus hanya memilih 1 komentar. Pusing. Kalau saya dipaksa seperti itu lebih baik diserahkan saja ke dewan komentar –suatu saat nanti.
Toh sebanyak apa pun yang terpilih tidak harus memberi hadiah –entah sampai kapan.
Misalnya di edisi kemarin (yang dimuat hari ini). Bagaimana bisa tidak memilih banyak. Baru mulai membaca komentar pertama sudah langsung ketemu yang bagus.
Tapi, please, info pabrik kontainer itu penting sekali. Itu akan menyadarkan pada kita soal tahapan industrialisasi di negara kita.
Kita, dulu, pernah hampir menjadi negara industri. Tahapan itu mandek ketika terjadi reformasi. Negara melemah. Rakyat menguat. Demo tak terkendali. Mogok buruh pun menakutkan –karena disertai sweeping dan perusakan. Pohon-pohon ikut ditebang. Perkebunan dijarah. Dan seterusnya.
Sejak itu terjadilah de-industrialisasi. Banyak pabrik ditutup. Impor barang jadi lebih mudah: tidak repot mengurus pabrik dan tenaga kerja.
Apakah de-industrialisasi itu sudah berhenti? Bahkan sudah mulai kembali proses industrialisasi?
Di bidang kontainer belum. Memang masih banyak ditemukan pabrik kontainer. Tapi hanya reparasi. Atau mengubah kontainer menjadi fungsi lain: kantor, basecamp, tempat tinggal sementara, dan menjadi gudang.
Krisis kontainer ini juga membuat kita menengok ke kemampuan angkutan laut internasional kita. "Saya berharap Indonesia punya pelayaran samudera. Agar ekspor kita lebih lancar," ujar Jeffry Jocom yang punya pabrik kelapa 1 juta butir sehari itu (Disway 23 Agustus 2021: Krisis Tertinggi).
Di laut kita bisa jaya –suatu saat kelak.(Dahlan Iskan)
Baca juga: Kontainer Langka, Pengusaha Usul Pakai Tongkang
Komentar terbaik pilihan Dahlan Iskan di artikel Ran Tan Tan
Sutarno Dwijo
Di negerinya Via Vallen, ada rencana tikus akan di rekrut untuk membantu kucing supaya tikus- tikus pada insyaf. Sepertinya kucing sudah berdamai dengan tikus. Entahlah.
Pryadi Satriana
Tiongkok mengutamakan ilmu, dari dulu. "Kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina (Tiongkok)." Sejak zaman Konfusius menekankan 'sisha' ("berada di dunia"), 'bekerja keras di dunia', 'berpikir membumi', contoh: tidak berpikir memindah ibukota kalau tidak punya dana. Kita menyebut "agama", mereka menyebutnya "cara berpikir, filsafat, ilmu." Partai Komunis Tiongkok secara institusi mengakui lima agama resmi negara: Konfusionisme, Taoisme, Buddhisme, Kristen, dan Islam. Salah satu pandangan mereka adalah: Untuk tidak hanya diperlukan mitra, tapi juga "musuh" (baca: pesaing). Tidak ada "kemenangan" (baca: kejayaan, kemajuan) kalau tidak ada "lawan" (baca: pesaing). Salam.
Pryadi Satriana
Justru Taliban nggak akan bikin pemerintahan sblm "Amerika pergi dg damai" itu bagian dari diplomasi Amerika. Amerika tidak kalah perang. Meninggalkan Afghanistan. Kapan Amerika tepatnya meninggalkan Afghanistan, Taliban pun tidak bisa memaksakan. 'Paku' tidak bisa "mempaku" 'palu'. Yg terjadi sebaliknya.
Pryadi Satriana
Saya jd teringat Prof. Parsudi Suparlan, yg mengemukakan 'joke' terkait Aceh, dulu. "Masuk Aceh bawa M-17 (buatan SIG Sauer, pabrikan pistol asal German-Swiss), keluarnya bawa 17 M." Selalu begitu. Ada kepentingan. Amerika dtg bawa demokrasi, keluar bawa 'contract', salah satunya kontrak karya Freeport, yg msh berjalan, walaupun sdh gonta-ganti presiden. Tiongkok (sy tdk pakai 'Cina', krn itu rasis) dtg bawa persahabatan, disertai senyuman khas Tiongkok, sambil bilang 'Palugada' (apa yang lu butuh gua ada). Ujung2nya: 'cuan' (uang, keuntungan). Polanya jg sama: 'saat Amerika keluar (baca: "jatuh"), Tiongkok masuk.' Di Iran. Di Indonesia. Di Afghanistan. "Yang 'abadi' hanyalah kepentingan." Salam.
I WAN Ibrahim
Enak sekarang nggak kayak kemaren mesti nulis nama sama email.... tinggal pencet send Usul Abah... bisa nggak kalau share atau like koment kita dikasih koin.... kayak game online yg lagi musim gitu....jadi bisa tukar dengan rupiah.... ampun beribu maaf Abah.... kalau usulnya agak ngaco
Disway Reader
Abah, sy masih bisa copy paste tulisan di Disway. Caranya print as PDF lalu buka PDF nya, select text lalu copy paste deh ...
Cahyo Nugroho
Kalau konflik antar suku di Afghanistan dianggap lebih ringan dari Pakistan, berarti situasi di Indonesia buat China seperti pakai tangan kiri juga cukup ya (buat yang bukan kidal). Cerita sekilas tentang jaringan kereta bawah tanah di Iran, jadi sadar ternyata Jakarta kalah jauh (dengan 5u) dari Tehran.
Kliwon
Ga peduli hitam atau putih, yang penting rata. Jangan sampe mukanya putih lehernya hitam. --Natasha Skin Care--
Anak Alay
wah . .. . elo gimana sich Bon , kumis udah tebel geto copas mencopas gak bisa . .. . gini nich , elo khan udah nemu 'url' twitter nya , elo copy paste di HP lain supaya elo bisa lihat . .. . trus elo KETIK di kolom komen ini , gampang bêt khan ?!
Trimo Luwung
TaliBan sudah berubah, dinamis. Ngga seperti TaliRafia yang ga pernah berubah
Irvan Nongka
Amerika yang kasi keluar duit puluhan ribu triliun, China yg panen raya..
Uk GajahAbot
Seandainya simnya afgan sekarang mati, apa samsatnya msh buka. bukankankah telat sehari saja harus mengurus SIM baru. "pusingnya afgan sekarang"
be a be
Ran Tan Tan Sia Sia. iRan pakisTan afganisTan malaySia ****nesSia
donwori
share linknya saja, supaya baca langsung di disway.id jangan membiasakan copy paste tulisan orang, karena rawan disalahgunakan dan diedit.
Raja Putera
Kurang ajar judulnya abah kali ini. Saya bacanya dengan nada: ran tan tan tan tan... harta dan tahta.... jelek gak papa....
ahmad ghofur
seperti kata para bijak bestari jangan berbisnis dengan china, tapi bertemanlah maka anda dapat duitnya jangan berteman dengan amerika, tapi berbisnislah maka anda jadi sekutunya
Chang
China, Amerika, Rusia. Siapa pun dia. Mereka yang mau mengulurkan tangan, patut dipertimbangkan. Tentu. Yang diuluri tangan jangan mudah tertipu. Ibarat gadis seksi, banyak yang tergiur mendekati. Tapi si Gadis harus cerdas. Jangan mau diperas. Lelaki nakal hanya mau cantiknya saja. Saat Gadis menua. Ditinggalkannya. Ngomong-ngomong soal palu, Indonesia juga punya Palu, di Sulawesi. Hehe.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
Komentar: 273
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google