Kereta Gaji
MUMPUNG Covid-nya sudah dimarahi habis-habisan oleh LBP, ayolah kita sumbang pemikiran apa saja untuk kemajuan negara berikutnya.
Saya sendiri kepikiran rel kereta api Jakarta-Surabaya. Yang lewat utara –Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya (Pasar Turi).
Lima tahun lalu jalur itu sudah selesai ditingkatkan: menjadi double track. Bukan lagi seperti di zaman Belanda.
Begitu sulit mewujudkan rel ganda itu. Terutama problem sosialnya. Tanahnya sih sudah tersedia. Belanda sudah menyiapkan tanah yang cukup lebar di kanan-kiri rel.
Tapi tanah itu sudah telanjur banyak yang ditempati penduduk. Apalagi yang di sekitar stasiun di perkotaan. Rumah-rumah penduduk begitu mepet ke rel kereta.
Mereka itulah yang harus digusur. Memakan waktu yang lama. Memakan perasaan pula. Toh akhirnya berhasil –meski perlu waktu sekitar 10 tahun. Dana yang ditanam di situ juga besar. Tidak mengapa. Yang penting mimpi punya rel ganda terwujud.
Itulah impian lama kita: memiliki rel kereta api dua jalur. Agar perjalanan naik kereta tidak membosankan: berhenti melulu. Setiap kali kereta dari arah Jakarta harus berpapasan dengan yang dari arah Surabaya, salah satu harus mencari tempat berhenti dulu. Biasanya di stasiun terdekat.
Karena rel tunggal sudah dibuat ganda, persoalan seperti itu hilang. Perjalanan Jakarta-Surabaya bisa lebih cepat. Mestinya.
"Sejak ada rel ganda, berapa jamkah perjalanan dari Jakarta ke Surabaya?"
“Masih sama. Masih 11 jam".
Hah?
Kalau jarak 725 Km itu harus ditempuh 11 jam berarti kecepatan rata-ratanya hanya 66 Km/jam.
Tidak apa-apa: pelan-pelan saja. Toh masih pandemi. Minat bepergian memang masih sangat rendah.
Tapi kita tidak boleh lupa: membangun rel ganda itu mahal sekali. Setiap investasi harus ada hasilnya. Ibarat uang dari utang, harus diperhitungkan hasilnya. Agar bisa mengembalikan utang itu.
Dengan rel ganda berapa jam seharusnya perjalanan dari Jakarta ke Surabaya?
Saya belum pernah mendengar ''target baru'' setelah rel ganda itu terwujud: 7 jam? 7,5 jam?
Saya masih ingat: KAI pernah mencapai waktu tercepat untuk Jakarta-Surabaya, yakni 9 jam. Itu jauh sebelum ada rel ganda. Tentu KAI akan malu kalau target baru yang ingin dicapai hanya kembali ke 9 jam.
Kenyataan sekarang yang hanya 66 Km/jam, rasanya pasti bukan karena kekuatan lokomotifnya. Lokomotif yang ada masih bisa lari dengan kecepatan 130 km/jam. Apalagi kalau gerbong yang dihela hanya 8 buah.
Apakah karena fondasi rel-nya yang kurang kuat? Setahu saya rel kereta kita terus diperbaiki. Saat ini, rasanya, mampu untuk menjadi tumpuan kecepatan 120 Km/jam.
Maka harus dicari penyebab lainnya.
Kondisi rel Jakarta-Surabaya (lewat utara) adalah yang terbaik. Terutama bila dibandingkan dengan jalur lama Jakarta-Bandung. Yang harus berkelok-kelok itu. Jalur Jakarta-Surabaya hampir sepenuhnya lurus.
Bagaimana kalau kecepatan rata-rata itu ditargetkan 100 km/jam? Rasanya masih bisa. Tentu direksi dan komisaris yang tahu caranya. Terutama cara memadukan kereta jarak pendek dan jarak jauh. Misalnya: kereta dibuat hanya berhenti dua kali. Bahkan kalau perlu hanya satu kali. Ada yang berhenti hanya di Cirebon. Pada jam yang lain hanya berhenti di Tegal. Jam yang beda lagi hanya berhenti di Semarang.
Sebenarnya dengan rel ganda begitu banyak kereta bisa diberangkatkan. Rel ganda benar-benar memerlukan pemikiran ganda. Terutama agar investasi triliunan rupiah itu bisa dirasakan manfaatnya.
Begitu sederhana keinginan hari ini: hanya bagaimana agar punya kereta dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam. Begitu jauhnya dengan yang sudah dicapai negara lain.
Memang kita akan punya kereta cepat Jakarta-Bandung. Yang konon akan diteruskan sampai Surabaya. Tapi tetap saja investasi yang sudah ditanam di jalur utara harus memperoleh return.
Tentu saya tidak punya nyali sebesar proyek Jakarta-Bandung itu. Saya takut. Apalagi ketika membaca berita di Hong Kong bulan lalu: biaya Jakarta-Bandung itu naik lagi dari rencana yang sudah diperbaiki. Naiknya saja, kata berita itu, USD 2 miliar. Berarti menjadi lebih Rp 100 triliun.
Maka untuk Jakarta-Surabaya saya hanya berani mengingatkan: rel ganda sudah lama tersedia. Mengapa kecepatan keretanya masih rata-rata sekitar 66 Km/jam.
Ke depan memang ada pemikiran alternatif: tidak perlu membangun jenis kereta Jakarta-Bandung itu. Cukuplah kalau Jakarta-Surabaya itu dibuat 4 jam. Berarti cukuplah dengan kereta berkecepatan 220 km/jam.
Berarti jalur ganda yang ada masih bisa digunakan. Hanya perlu diperbarui ukuran relnya. Dari yang ada sekarang 1.067 cm, menjadi ukuran 1.455 cm. Tapak yang lebih lebar memang membuat lebih aman untuk kecepatan lebih tinggi.
Tentu keretanya juga harus diubah: menjadi kereta listrik.
Dari segi biaya pemikiran sederhana itu lebih realistis. Kalau punya uang lebih bisa untuk yang lain.
Tapi untuk apa kita pikirkan itu? Kita pikir dulu yang 66 Km/jam tadi.
Cobalah Anda berlagak menjadi direksi atau komisaris PT KAI. Bagaimana Anda bisa menjalankan kereta itu dengan kecepatan rata-rata 100 Km/jam.
Terserah Anda, kereta itu akan Anda buat berhenti berapa kali. Yang penting jangan minta naik gaji. (Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di artikel berjudul Blok Blokan
Komentator Spesialis
Kelihatannya kita sekarang sedang euforia merayakan kemenangan atas covid. Rest area mulai sesak mobil terparkir, dijumpai banyak orang nggak pakai masker. Dan semalam, terkejut lihat suasana pernikahan seseorang di hotel, surabaya sini, berjubel tamunya. Saya berusaha menghindar menuju kamar. Kelihatannya bakal ada gelombang ketiga. Semoga tidak. Tapi sebaiknya waspada. Selamat berlibur berakhir pekan.
Wistara Zavier Wahyu
Langkah Indonesia seperti posisi kliwon dipasaran. Kadang berpasangan sama Wage. Kadang berpasangan sama Legi. Kadang berpasangan sama amerika, kadang berpasangan sama Tiongkok.
Anak Mama
Nun sukun ketemu ba hukumnya iqlab. Dibaca jadi bunyi mim. Nonblok jadi nomblok.
Tikno
Tidak tepat jika blok-blokan itu mencerminkan ideologi. Itu terbentuk secara alamiah dari "kesadaran & pilihan diri sendiri". Semua negara pasti ingin roda ekonomi bergerak ditengah pandemi. Jadi, pemerintahan yang percaya rakyatnya akan "sadar" masalah sanitasi & kesehatan, pilihannya cenderung pada kebebasan. Sebaliknya pemerintahan yang masih ragu akan "kesadaran" rakyatnya, pilihannya cenderung pada pengendalian. Juga kesadaran tiap pemerintahan menilai diri sendiri apakah memiliki sumber daya yang mumpuni untuk mengendalikan pandemi. Jadi itu tentang "pilihan" berdasarkan "kesadaran" diri sendiri.
Udin Salemo
Ikut blok barat aja. Gak memberatkan pemerintah. Ikut blok china habis anggaran yang seharusnya bisa utk memutar roda ekonomi bergerak lebih dinamis. Makin banyak biaya utk covid makin besar peluang korupsi seperti di bansos itu.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
Komentar: 269
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google