Tak Boleh Mondok ke Luar Jombang oleh Kiai Wahab

Tak Boleh Mondok ke Luar Jombang oleh Kiai Wahab

Begitu lahir, Mundjidah Wahab sudah jadi santriwati. Maklum, dia adalah putri pendiri Nahdlatul Ulama dan pahlawan nasional KH Wahab Hasbullah. Sejak kecil dia dididik di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. 

---

USIANYI 73 tahun. Tapi masih sangat energetic. Sabtu (16/10) kegiatannya begitu padat. Dia baru pulang ke rumahnya di Pondok Pesantren Lathifiyah 2, Tambakberas, pukul 22.00. Langsung rapat persiapan Hari Santri bersama DPP PPP yang dipusatkan di Ponpes Bahrul Ulum. Baru pukul 22.30 hingga menjelang tengah malam melayani wawancara Harian Disway. Masih dengan penuh semangat. Tidak terlihat Lelah sama sekali.

“Besok (Minggu (17/10) pagi saya ke Surabaya. Ada acara Muslimat NU,” kata perempuan kelahiran 22 Mei 1948 itu.

Untuk waktu tidur yang pendek itu dia sudah terbiasa sejak menjadi santri. Sebagai santri, sudah biasa bangun malam untuk tahajud dan dzikir. Apa resep sehatnya?

Resepe akeh syukure. Kalau ada masalah ya sudah. Kalau ada sesuatu nggak usah lama-lama. Diselesaikan,” ujar perempuan yang masih rutin puasa Senin-Kamis itu.

 

GAPURA Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. Rumah Munjidah Wahab tak jauh dari gapura tersebut. (Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)

Di antara saudara-saudaranyi, hanya Mundjidah yang tidak pernah mondok selain di Ponpes Bahrul Ulum. Kakak-kakak dan adik-adiknyi semua mondok ke berbagai ponpes di Jawa. Bahkan ada yang ke Mesir. “Hasib, adik saya, habis sunat sudah ke Magelang. Saya juga pengin. Tapi tidak boleh Abah. Katanya nanti gak ada yang nungguin pondok. Tidak ada yang mengurusi anak pondok,” kata ibu enam anak itu.

Mundjidah memang pernah mondok di Ponpes Al Hidayah, Lasem. Tapi itu hanya saat liburan Ramadan. “Abah bilang, nanti kamu bakal ngluwihi (melebihi) mbakyu-mbakyumu,” kenang Wabup Jombang 2013-2018 itu.

Saat kecil, Bu Mun sudah ndobel sekolah. Di SD dan MI. Pulang dari SD, dia meneruskan sekolah di MI. Banyak santri yang seperti itu. Dia juga merasakan diajar sendiri oleh sang ayah, Wahab Hasbullah. Terutama saat Ramadan, Kia Wahab mengajar ngaji sendiri anak-anaknya.

Jiwa aktivis dan berorganisasi sudah dimuali saat Mundjidah duduk di kelas 5 Madrasah Mualimin Mualimat. Setara kelas XI SMA. Saat itu dia sudah menjadi ketua Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Jombang. Sebagai ketua IPPNU, Mundjidah juga aktif turun ke kecamatan dan desa membentuk IPPNU.

Pasca G30S/PKI, Bu Mun bergabung dengan Kesatuan Kasi Pelajar Indonesia (KAPI). Sebagai bendahara KAPI Jombang. Pengalaman berorganisasi itu diterapkan di pondok. Pemilihan pengurus Pondok Pesantren Lathifiyah 1, salah satu unit Ponpes Bahrul Ulum, Tambak Beras, diubah lebih demokratis. Ada proses pemilihan dan pertanggungjawaban.

Dia juga kemudian bergabung ke Partai NU pada 1971. Ikut Pemilu dan terpilih sebagai anggota DPRD Jombang pada 1971. Menjadi wakil ketua. Menurut Mundjidah, dia merupakan wakil dari Fatayat. Di Partai NU ada jatah dua kursi untuk perempuan. Satu dari Fatayat dan satu untuk Muslimat. Usianyi saat itu 21 tahun. Mungkin masih memegang rekor anggota legislatif termuda di Indonesia.

Menjadi politikus bukan perintah Kiai Wahab. Itu atas keinginan dia sendiri. Tentu dengan restu Abahnyi. “Saya pamit waktu mau pelantikan,” ujarnyi. Tiga bulan setelah dia menjadi anggota dewan, Kiai Wahab wafat.

SANTRI Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas menunggu datangnya Magrib. Saat ini ada 12 ribu santri di pondok tersebut. (Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)

Sebagai politikus imut-imut, belum banyak yang mengenak Mundjidah. Sang kakak, Muhammad Baidlowi, yang kala itu menjadi ketua PC NU Jombang punya ide. Mundjidah diperkenalkan ke publik dengan nama Mundjidah Wahab. Padahal, kakak-kakaknyi semua pakai nama suami. Hanya Mundjidah yang memakai nama Wahab. “Maksudnya biar orang tahu anggota DPRD imut ini anaknya Kiai Wahab. Jadi orang malah tidak banyak tahu nama suami saya,” ujar ketua DPW PPP Jawa Timur itu.

Lalu pada 1973, terjadi fusi partai. Lahirlah PPP. Mundjidah terlibat dalam fusi tersebut. Dia pun menjadi anggota DPRD Jombang dari PPP hingga 1992. Setelah itu, Mundjidah menjadi wakil rakyat di DPRD Jatim hingga tiga periode.

Lalu pada 2013 digandeng Nyono Suharli menjadi wakil bupati. Sebenarnya Mundjidah menyiapkan diri menjadi anggota DPR. Sudah dua periode PPP tidak mendapat kursi di DPR pusat. Tapi, banyak yang minta dia maju sebagai bupati pada Pilbup 2018. “Saya akhirnya minta anak saya Ema (Ema Umiyyatul Chusnah, Red) untuk menjadi caleg DPR dari PPP. Dan terpilih,” kata Mundjidah.

Ada satu kebahagiaan Mundjidah saat menjadi bupati. Di bawah kepemimpinannyi, Jombang akhirnya punya Hari Jadi. Sebelumnya dilakukan riset untuk mencari Hari Jadi Kota Jombang. Tidak berhasil. Jombang dulu bagian dari Mojokerto. Akhirnya diputuskan mencari dokumen Hari Jadi Kabupaten (Pemkab) Jombang. Dari dokumen yang ada ditetapkanlah Hari Jadi Pemkab Jombang adalah 21 Oktober. Sehari sebelum Hari Santri. “Jadi kami peringati Hari Jadi Jombang sekaligus Hari Santri,” kata Mundjidah. Tahun ini adalah peringatan Hari Jadi ke-111 Pemkab Jombang. (Tomy C. Gutomo)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Komentar: 0