Tembus Pangsa Pasar di Eropa
Perjuangan meyakinkan para pembatik agar berpartisipasi bersama kelompok Semandtik tak mudah. Mulanya menolak. Belakangan bersedia setelah kelompok tersebut memopulerkan batik hingga ke Paris.
Seorang perempuan paro baya dikenal sebagai salah seorang pioneer pembatik di Kota Tuban. Hasil dari membuat dan menjual batik miliknya memberikan pendapatan yang lumayan.
Meskipun sebenarnya harga penjualan itu tak begitu sepadan dengan proses pembuatannya. Lingkup pemasarannya pun hanya menjangkau Tuban dan sekitarnya.
Pembatik ini sangat idealis. Motif batik tradisional Tuban dianggap seperti anaknya sendiri yang perlu dijaga mati-matian. Begitu pula terkait model busana dan sebagainya.
”Maka tak heran jika awalnya dia menolak paparan kelompok Semandtik yang menawarkan terobosan pemasaran, manajemen, pengayaan motif serta penyesuaian dengan tren masa kini,” ungkap Firman Subekti, pendiri Semandtik.
Tangan-tangan kreatif yang memproses pembuatan batik tulis bersama para artisan yang tergabung dalam Semandtik di Tuban. (Semandtik untuk Harian Disway)
Semua tahu bahwa Tuban adalah salah satu penghasil batik pesisir dengan kualitas bagus. Bahkan tiap daerah memiliki kekhasan motif masing-masing. ”Seperti daerah Semanding yang batiknya bercorak ornamen yang terlihat rapat dan rumit,” ujarnya.
Di daerah tersebut terdapat empat komunitas pembatik yang mengkreasikan motif berbeda. ”Kalau ditotal, Semanding punya sekitar 25 motif,” tambahnya. Di daerah Palang, Tuban memiliki banyak artisan pembatik.
Di luar itu motifnya berbeda. Cenderung rapat hingga hampir tanpa celah. Sedangkan di daerah Kerep, desainnya lebih berwarna. Di mata Semandtik, semua itu menjadi bagian dari beraneka ragamnya kreasi batik pesisir Tuban.
Mereka tak berusaha menyingkirkan eksistensi pebatik tradisional. ”Padahal kami tidak berupaya menghilangkan motif tradisi. Bebas sih mau bertahan atau tidak. Kreasi kami diharapkan memperkaya keragaman motif Tuban,” ujarnya.
Menurut pengamatan Semandtik, selama ini para pembatik Tuban tak mendapat keuntungan yang sebanding dengan lamanya proses produksi. Sebagai contoh ada karya seorang artisan yang hanya dihargai Rp375 ribu oleh agen.
Sedangkan agen bisa menjualnya seharga Rp1,2 juta. ”Itulah fakta di lapangan. Terjadi kesenjangan antara popularitas batik dengan kondisi ekonomi artisannya,” ungkap pria 24 tahun itu.
”Nah si pembatik ini pun tahu kenyataan pahit itu. Tapi saat pertama kali ditawarkan tentang terobosan soal promosi dan sebagainya, dia menolak. Meskipun mendengar bahwa Semandtik memiliki kreasi batik yang sederhana, simpel dan model yang dapat berpadu dengan style masa kini, dia tak tergerak juga,” bebernya.
Hingga, para artisan yang bergabung dalam Semandtik mengunggah produk batiknya dalam konsep video art. Produk mereka dikenakan model-model cantik dengan seni fotografi yang baik.
Tak hanya di akun media sosial pribadi. Akun Semandtik juga mengunggahnya dengan konsep menawan. Menggunakan caption bahasa Inggris sehingga menarik pembeli dari luar negeri.
Dua model yang mengenakan busana dari batik kreasi Semandtik. Model busana ini telah menyesuaikan perkembangan zaman yang disukai pasar Eropa. (Semandtik untuk Harian Disway)
”Semua itu membuat si pembatik tersebut berpikir ulang ya jika dia bertahan dengan idealismenya, maka pendapatannya tak bertambah. Lain halnya dengan kawannya sesama artisan yang secara ekonomi dapat terangkat. Akhirnya, dia bergabung dan merasakan manfaatnya. Kami bahkan membantunya menggalakkan batik kreasinya sampai ke Perancis,” ungkapnya.
Semandtik memang memiliki jaringan luas di Perancis. ”Kami punya relasi yang mengelola atau me-manage usaha batik di sana,” tutur Firman. Sehingga batik Tuban kreasi Semandtik dan kreasi motif tradisional para artisan bisa diekspor ke negara tersebut.
Apalagi model busana yang ditawarkan Semandtik menyesuaikan mode terkini. Setiap produk batik itu memuat tanda tangan atau nama artisan. Hal itu sesuai dengan tren slow fashion yang berprinsip menyertakan nama kreator dalam setiap hasil karya busana.
”Jangan hanya populer batiknya doang. Pembuatnya juga harus dikenal. Orang membeli barang harus tahu siapa yang mengerjakan,” ujar Ainur Ridho, desainer Semandtik.
Selain melestarikan batik Tuban, Semandtik berkontribusi terhadap income artisan. Selain membagi trik bagaimana cara menyesuaikan batik dengan tren mode, Semandtik memberi pelatihan manajemen pada para pembatik yang bisa menjamin bahwa usaha mereka akan berkelanjutan.
Untuk hal-hal demikianlah Semandtik lahir. Banyak keresahan seputar dunia batik yang dipikirkan Firman. Bekerja sama dengan Ainur, keduanya menggandeng dua kawan lain, Aditya Hamman dan Ilhafa Qoima.
Keempatnya, pada 2017 bersepakat untuk menyatukan persepsi dalam Semandtik. Misinya memopulerkan batik Tuban dengan sistem pemasaran yang memanfaatkan teknologi digital.
Sebab sistem konvensional yang hanya sebatas jual-beli di kalangan produsen-agen tak cukup memberi keuntungan pada artisan. Melalui media sosial, mereka diajak memasarkan produknya sendiri.
Bisa melalui re-post unggahan Semandtik dalam akun Instagram mereka sendiri. Bisa juga dengan cara-cara promosi lain yang dapat dikonsultasikan pada keempat pengelola kelompok tersebut.
Pemikiran-pemikiran lama soal manajemen yang tak relevan, sedapat mungkin diubah menjadi strategi aktivasi brand menggunakan berbagai platform media sosial. Tapi ada juga para artisan yang menolak strategi Semandtik.
Mereka memilih bertahan dengan cara lama. ”Tentu orang seperti itu mindset-nya belum berubah. Persoalannya, mereka belum tahu atau belum mengerti tentang prospek penjualan dan peningkatan popularitas lewat digital,” tutur Firman.
Tak sedikit para artisan yang bertahan dengan pola pikir lama. Alhasil, Semandtik memprioritaskan mereka yang benar-benar mau diajak maju dan bergandengan tangan dalam rangka melestarikan budaya bangsa.
Kini, Semandtik telah dikenal luas di Kabupaten Tuban. ”Ruang lingkup kami sementara fokus di Tuban karena kami semua asli orang Tuban. Langkah ke depan tentu akan merangkul para pembatik lain,” ungkapnya.
Perhatian besar serta konsep Semandtik yang menarik itu dipresentasikan oleh Ainur pada event Design Week di Universitas Ciputra, almamaternya. Ia membagi kiat-kiat mengelola usaha batik dengan campaign #FabricatingStory.
”Campaign tersebut bertujuan untuk membangun hubungan emosional antara brand dengan konsumen melalui penciptaan sebuah karakter yang sesuai dengan kebutuhan,” ujar Ainur.
Istilahnya, bentuk busana, desain yang sederhana, simpel dan sebagainya menyesuaikan dengan semangat zaman. Tujuannya untuk mendapatkan awareness dan pengalaman.
T
Contoh motif baru batik jati kreasi Semandtik yang dikerjakan oleh para pengrajin di Tuban. (Semandtik untuk Harian Disway)
”Sangat penting bagi Semandtik untuk memanfaatkan fitur-fitur dari media sosial agar eksistensi pembatik semakin meluas. Sehingga menghasilkan output secara maksimal,” tambah pria 23 tahun itu.
Christian Ang, dosen Visual Communication Design, Universitas Ciputra, mengapresiasi konsep Semandtik. ”Semandtik telah memberdayakan seniman batik Tuban yang mulai ditinggalkan generasi muda. Dengan pengelolaan, re-design sampai sekarang mereka sudah memiliki pangsa pasar di Eropa,” ungkapnya.
Kini, Semandtik menjadi partner dari para artisan atau pebatik Tuban. Namun yang kemudian diikutsertakan dalam tim inti mereka ada tujuh orang. ”Rata-rata para artisan itu adalah ibu-ibu. Bekerja bersama di tempat kami, termasuk mengelola manajemen dan memproduksi batik,” terangnya.
Firman bungah, dunia batik di Tuban semakin menggeliat. Di antaranya berkat Semandtik yang jadi pemantik. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
Komentar: 0
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google