QATAR, DISWAY.ID - Awer Mabil terpejam. Bibirnya mengucapkan sesuatu. Ia seperti berdoa, terlihat air matanya mentes usai laga Australia kontra Peru, dini hari tadi.
Awer Mabil mengaku tendangan penaltinya yang membawa Australia ke Piala Dunia kelima kali berturut-turut, merupakan bentuk terima kasihnya, untuk negara Kanguru yang telah membawa dia dan keluarganya masuk sebagai pengungsi.
Pemain sayap, yang lahir dari orang tua asal Sudan Selatan di kamp pengungsian di Kenya itu, dengan tenang mengkonversi tendangan penalti sudden death pertama dan kemudian menyaksikan ketika Andrew Redmayne menyelamatkan tendangan Alex Valera dari titik putih untuk merebut kemenangan playoff di Doha.
BACA JUGA:Akhirnya Australia ke Piala Dunia 2022, Kiper Cadangan Andrew Redmayne Jadi Pahlawan
“Saya tahu saya akan mencetak gol. Ini satu-satunya cara untuk mengucapkan terima kasih kepada Australia, dari saya dan keluarga saya,” kata pemain berusia 26 tahun itu kepada wartawan dari Qatar, dikutip Disway.id dari Reuters, Selasa 14 Juni 2022.
“Keluarga saya meninggalkan Sudan karena perang, saya lahir di gubuk. Kamar hotel saya di sini lebih besar dari kamar yang kami miliki sebagai keluarga di kamp pengungsian dulu. Bagi Australia menerima dan menampung kami, memberi saya dan keluarga saya kesempatan untuk hidup,” tuturnya.
Mabil berharap kontribusinya pada kemenangan Selasa akan, setidaknya dalam dunia sepak bola, membantu menciptakan narasi baru seputar pengungsi di Australia. “Sekarang saya pikir saya punya pengaruh pada sepak bola Australia,” tambahnya.
BACA JUGA:Jangan Berhadap Jadi Superstar di Piala Dunia Qatar 2022, Masih ada Ronaldo dan Messi
“Kami akan pergi ke Piala Dunia. Saya mencetak gol (penalti), banyak dari rekan setim saya mencetak gol, kami semua berperan, dan ya, mungkin anak pengungsi itu berperan besar. Jadi atas nama keluarga saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh Australia,” imbuhnya.
Mabil mengatakan dia tiba di Australia sebagai seorang anak tepat pada waktunya untuk melihat "Generasi Emas" Socceroos bermain di Piala Dunia 2006 di Jerman.
Generasi pemain saat ini, katanya, bertekad untuk tidak terbebani oleh kenangan hari-hari ketika Tim Cahill dan Harry Kewell mengenakan kaus hijau dan emas.“Kami ingin membuat bab kami sendiri,” katanya.