KYIV, DISWAY.ID-- Rusia unjuk kekuatan saat para pemimpin negara barat bertemu di Eropa dengan melakukan bombardir ibu kota Ukraina, Kyiv.
Kota terpenting di Ukraina tersebut dibombardir dengan rudal jarak jauh hingga menghancurkan banyak bangunan dan memecahkan ketenangan Kyiv pada minggu-minggu sebelumnya sejak perang Rusia - Ukraina ini terjadi.
Wali Kota Kyiv Vitali Klitschko mengatakan rudal itu menghantam setidaknya dua bangunan tempat tinggal.
BACA JUGA:Akhirnya Hotman Paris selaku Pemilik Holywings Minta Maaf ke MUI, Begini Katanya
Presiden Volodymr Zelenskyy mengungkapkan seorang pria berusia 37 tahun tewas dan putrinya yang berusia 7 tahun serta istrinya terluka.
Wartawan Associated Press melihat pekerja darurat berjuang melawan api dan menyelamatkan warga sipil.
Demikian laporan Oleksandr Stashevskyi, dilansir dari The Denver Post, Minggu 26 Juni 2022.
Serangan itu, sesuai pemberitaan media tersebut, juga merusak taman kanak-kanak di dekat bangunan, di mana sebuah kawah memenuhi halaman.
Presiden AS Joe Biden menyebut serangan itu "barbarisme" setelah ia tiba di Jerman untuk menghadiri KTT G7.
Kemudian Minggu, seorang pejabat lokal melaporkan kematian kedua, mengatakan kepada kantor berita Unian bahwa seorang pekerja kereta api tewas dan beberapa lainnya terluka dalam serangan saat melayani infrastruktur kereta api.
Juru bicara angkatan udara Ukraina Yuriy Ignat mengatakan senjata yang diluncurkan dari udara pertama yang berhasil menargetkan ibukota sejak 5 Juni adalah rudal jelajah Kh-101 yang ditembakkan dari pesawat tempur di atas Laut Kaspia, lebih dari 1.500 kilometer (932 mil) jauhnya.
Wali Kota Kyiv mengatakan kepada wartawan bahwa dia mengira serangan udara itu "mungkin serangan simbolis" menjelang pertemuan puncak NATO di Madrid yang dimulai Selasa.
Seorang mantan komandan pasukan AS di Eropa mengatakan serangan itu juga merupakan sinyal bagi para pemimpin negara-negara G-7 yang bertemu hari Minggu di Jerman.
“Rusia mengatakan, ‘Kita bisa melakukan ini sepanjang hari. Kalian tidak berdaya untuk menghentikan kami,'” kata pensiunan Letnan Jenderal Ben Hodges, mantan komandan pasukan Angkatan Darat AS di Eropa.