Taubat dan Ihsan

Sabtu 19-11-2022,14:36 WIB
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

SUFISME adalah tentang perjalanan spiritual (suluk) seorang salik menuju Allah swt. Para ulama Sufi membuat rambu-rambu Suluk tersebut, supaya seorang salik bisa selamat sepanjang perjalanan dan sampai ke tujuan. Stasiun pertama yang harus dilalui adalah taubat, yaitu penyesalan hati karena selama ini telah kufur dan ingkar pada Allah. Karenanya, ia harus selalu beristighfar dengan lidahnya dan berjanji untuk tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Taubah ini adalah satu kewajiban bagi seluruh orang yang berdosa, baik melakukan dosa kecil ataupun besar. Seseorang tidak diperbolehkan meninggalkan taubat setelah melakukan maksiat, karena maksiat tidak akan lepas dari ancaman Allah kecuali ia bertaubat. Sahal at-Tustari dan Junaid al-Baghdadi mengartikan taubat sebagai upaya seseorang tidak melupakan dosanya.

BACA JUGA:Maqomat dan Ahlwal dalam Kajian Sufisme

Imam al-Qusyairi membagi taubat menjadi tiga istilah: pertama, taubat. Yaitu, seseorang yang merasa takut pada ancaman Allah lalu ia bertaubat. Kedua, inabah. Yaitu, orang yang berharap mendapat pahala lalu ia bertaubat. Ketiga, awbah. Yaitu, orang yang berusaha mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Allah, tanpa ada harapan mendapatkan pahala maupun takut akan siksa (Wajdi Amin al-Jurdi, Khathirat al-Shufiah Baina Dilalah al-Rumzi wa Jamaliyyah at-Ta'bir, Books Publisher, Beirut, 2017: 91).

Sementara Dzun Nun al-Mishri mengatakan bahwa hakikat taubat adalah hendaknya engkau membuat kehidupan di dunia ini terasa sempit dan engkau membuatnya sempit dengan menjadikan jiwamu dipenuhi penyesalan atas dosa-dosa sebelumnya. Namun, setelah penyesalan itu dilakukan, selanjutnya seseorang menyesali penyesalannya. Karena menurut Ibnu Abbas ra., terus-menerus dalam kondisi menyesal dapat menyebabkan keburukan bagi seseorang (Muhyi Abdul Mun'im, Man Saraqa al-Mushhaf: fi al-Shufiah al-Mutaharrikah wa Ba'd A'lam al-Shufiah, Dar ar-Rasyad Kairo, 2000: 139).

Dari penjelasan Ibnu Abbas ra di atas, muncul pengertian taubat yang lebih hakiki. Hasan Muhammad asy-Syarqawi mengatakan, taubat adalah penyesalan seseorang karena terlalu sedikit amal kebaikan yang dilakukannya. Secara lahiriah, ia meninggalkan dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Ini pengertian taubat yang sederhana. Kemudian, para sufi juga mengembangkan arti taubat secara hakiki. Yaitu, seseorang bahkan tidak memikirkan taubat yang dilakukannya. Ia hanya fokus pada Allah tanpa memikirkan dosa-dosanya yang lalu.

Karena, jika seseorang masih memikirkan taubat yang dilakukannya, ia akan memikirkan dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya. Jika ia memikirkan dosa-dosa, otomatis ia tidak sedang memikirkan Allah. Jadi, bertaubat dari taubat adalah semata-mata mengingat Allah dan melupakan taubatnya dari dosa-dosa (Hasan Muhammad asy-Syarqawi, Al-Fadhul al-Shufiah wa Ma'aniha, Dar al-Ma'rifat al-jami'ah, 1983: 104).

Konsep taubat ini digali dari kisah Alquran, tentang Nabi Adam as yang melakukan dosa karena memakan buah khuldi, kemudian menyesali perbuatannya itu. Allah Swt merahmati Nabi Adam as dengan memberikannya kesempatan bertaubat dan mengajarinya kalimat-kalimat taubat. Untuk itulah, taubat di-fardhu-kan kepada seluruh umat muslim, agar ia kembali pada Tuhan dalam keadaan suci, baik pakaian lahir, perkataan, pikiran, dan suara hatinya.  Seluruhnya bersih (Abdul Hakim Abdul Ghani Qasim, al-Madzahib al-Shufiah wa Madarisuha, Maktabah Madbuli Kairo, 1999: 91).

Setelah seseorang menyesali dosa-dosa, berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan, dan melupakan apa yang sedang terjadi pada dirinya, termasuk taubatnya sendiri dengan hanya fokus pada Allah semata, selanjutnya ia bisa masuk ke maqom berikutnya, maqom Ihsan. 

Secara bahasa, Ihsan adalah mengerjakan semua hal yang baik. Orang yang disebut muhsin adalah mereka yang banyak mengerjakan kebaikan. Mengerjakan kebaikan adalah melakukannya dengan cara yang terbaik. Secara istilah, ihsan adalah segala kebaikan baik berupa perbuatan maupun perkataan. Itu bisa dilihat pada ayat 83 surat Al-Baqarah atau ayat 36 dan 77 surat Yusuf.

Sebuah hadis yang membahas ihsan ini adalah sabda Rasulullah saw yang mengatakan bahwa ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia yang melihatmu. Jadi, berdasarkan hadis tersebut, maqom ihsan ada setelah maqom Islam dan Iman. 

Izzuddin bin Abdussalam mengatakan, Islam adalah awal martabat agama yang dijalankan oleh umat kebanyakan. Iman adalah awal tangga hati yang dimiliki oleh umat muslim yang istimewa. Sedangkan ihsan adalah awal tangga bagi ruh orang-orang yang didekatkan pada Allah. Seseorang tidak akan mencapai maqom dekat dengan Allah kecuali mengatasi enam perkara: mencegah tubuh mengerjakan larangan syariat, menjaga nafsu dari mengikuti kebiasaan umumnya, menjaga hati dari keburukan manusiawi, menjaga rahasia batin dari kotornya tabiat, menjaga ruh dari pengaruh materi, dan menjaga akal dari takhayul (Al-Husaini Ma'di, Mawsu'ah al-Shufiah, Knooz for Publication Kairo, 2013: 38).

Jadi, seseorang akan menempuh martabat dan maqom Ihsan ini apabila ia sudah bertaubat, sudah menyesali seluruh maksiat yang pernah dilakukannya, dan kemudian ia terus berusaha untuk menjaga kesucian anggota tubuh, hati, ruh, dan akalnya dari kotornya maksiat. Dengan kata lain, Ihsan menjadi tahapan berikutnya setelah menempuh tahapan taubat. Tanpa pernah bertaubat, seseorang tidak akan pernah mencapai ihsan, karena ihsan mensyaratkan seseorang tidak lagi mengerjakan dosa dan maksiat. (*)

*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

 

Kategori :