Kasus yang menimpa PT CLM dan PT APMR itu dinamakan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso sebagai praktek mafia yang menggunakan pola 'Hostile Take Over', yaitu upaya paksa mengambil alih saham perseroan tambang dengan proses hukum yang terlihat seolah-olah legal namun sebetulnya ilegal.
Hostile take over biasanya diawali dengan perjanjian kerja sama atau pembelian saham perseroan resmi yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Namun, melalui jaringan/network yang kuat, utamanya di lembaga-lembaga hukum, mereka kemudian mengambil alih paksa saham perusahaan secara murah.
Kurtubi melanjutkan kelemahan lainnya dari sistem konsesi adalah pihak yang diberi wewenang mengeluarkan Konsesi/IUP seringkali menjadikan wewenangnya itu sebagai sumber untuk memperoleh cuan, sehingga IUP untuk suatu wilayah pertambangan saling tumpang tindih karena IUP yang dikeluarkan lebih dari satu.
BACA JUGA:Kumpulan Resep Sajian Natal, Ini 5 Hidangan Khas Berbagai Daerah di Indonesia yang Menggoyang Lidah
"Kelemahan lainnya adalah pemegang Konsesi/IUP terlalu mudah untuk memperjualbelikan IUP-nya. Bahkan IUP yang baru diterima dari Bupati/Gubernur/ ESDM, seringkali sudah diperjualbelikan kepada investor yang memang benar-benar punya dana/modal," tambah Kurtubi.
Dijelaskan oleh Kurtubi, kelemahan fatal dari sistem Konsesi/IUP baik berdasarkan UU Minerba No.4/2009 maupun UU No.3/2020 adalah karena Konsesi/IUP dan juga Kontrak Karya (PKP2B) merupakan sistem tata kelola pertambangan era kolonial yang tidak mencerminkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang seharusnya mengacu kepada Pasal 33 UUD 45 dimana harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebagai pembanding, di Sektor Migas, sejak tahun 1960 berdasarkan UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971, sistem Konsesi/IUP dan Sistem Kontrak Karya (PKP2B), sudah tidak dipakai lagi dan diganti dengan sistem Kontrak Bagi Hasil antara Perusahaan Negara (PN) yang dibentuk dengan UU berkontrak dengan Investor Tambang. Negara memperoleh bagian bagi hasil 65% dan Investor memperolah 35%.
Dengan sistem konsesi, negara tidak dijamin memperoleh penerimaan yang lebih besar dari keuntungan yang diperoleh penambang. Karena di UU Minerba, tidak disebut secara spesifik bahwa kekayaan/asset berupa cadangan minerba yang ada di perut bumi adalah milik negara dan harus dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
BACA JUGA:Penodongan Kebayoran Lama Ternyata Gunakan Alat Cukur
Oleh karena itu, Pemegang Konsesi merasa seolah-olah asset/cadangan minerba yang ada di perut bumi merupakan milik mereka. Cukup dengan membawa laporan geoligist tentang perkiraan cadangan minerba yang ada di wilayah konsesinya, lalu dibawa ke bank guna memperoleh pinjaman. Padahal cadangan mineral di perut bumi adalah milik negara dan hanya pemiliknya yang berhak mengagunkan ke bank.
Kurtubi menekankan bahwa semua cadangan migas dan minerba yang ada di perut bumi adalah milik negara dan harus dikuasai oleh negara dengan cara negara membentuk Perusahaan Negara (PN) dengan UU dan PN tersebut diberi wewenang Kuasa Pertambangan. Semua Investor harus berkontrak bagi hasil "B-to-B" dengan Perusahaan Negara Pemegang Kuasa Pertambangan ( PNPKP) dengan bagi hasil seperti di migas (65:35).
"Dengan demikian, tidak akan ada lagi jual beli Konsesi (IUP) dan Negara/APBN dipastikan akan memperoleh penerimaan dari SDA yang harus lebih besar dari keuntungan Investor pelaku usaha pertambangan," pungkas Kurtubi.