"Susah sekali, sulit sekali (ambil tindakan tegas,red). dia jadi gamang, prajurit jadi gamang, termasuk komandan di lapangan, sebagai leading sektor itu kan polisi, bukan militer, sedangkan yang dihadapi ini gerakan pemberontakan bersenjata".
"Dalam undang-undang ada operasi militer perang, TNI boleh melakukan penumpasan gerakan pemberontakan bersenjata dan separtisme," lanjut Maroef.
BACA JUGA:KKB Serbu Markas Brimob Sugapa Intan Jaya
Maroef mengatakan, pemerintah seharusnya tegas dalam mengeluarkan aturan sesuai dengan undang-undang TNI dalam melakukan tugas dan fungsi.
"(jika pemerintah tegas mengeluarkan aturan sesuai UU TNI,red) Berarti kan dilindungi kan betul-betul prajurit ini bahwa dia tidak melanggar HAM," tuturnya.
Mantan Komandan Skadron 465 Paskhas itu mengatakan, dalam menyelesaikan masalah di Papua tidak sama dengan saat konflik di Aceh.
Dia lalu menceritakan bahwa OPM memiliki banyak faksi. Ada faksi dalam negeri, luar negeri, faksi politik, faksi bersenjata yang tersebar di pegunungan dan berbagai tempat di Papua.
Faksi-faksi di dalam OPM itu bergerak dengan panglima yang berbeda-beda.
"Ada faksi bersenjata, tnpb, itu ada juga, itu kalau tidak salah ada 13, baik di pegunungan punya, kabupaten lainnya, itu sendiri-sendiri, dalam belum tentu mereka satu panglima.
Kata Maroef, banyaknya tokoh dalam faksi tersebut menjadi salah satu kesulitan dalam bernegosiasi.
"Berbeda dengan Aceh ada tokoh sentralnya, ada tokoh sentralnya, jadi gampang bernegosiasi dengan mereka, kalau sekarang mau bernegosiasi (dengan Papua,red) dengan tokoh yang mana tokoh sentral yang betul-betul jadi panutan mereka," kata Maroef.
Maroef kemudian menceritakan sekilas kisah kemerdekaan Papua. Kata dia, Papua merdeka tidak bersama-sama dengan wilayah lainnya di Indonesia pada tahun 1945.
"Kalau kita bicara soal papua, itu kita mundur sejalan dengan sejarah kemerdekaan perjuangan bangsa ini. Merdekanya papua itu tidak sama dengan merdekanya wilayah provinsi lainnya, yang sama-sama tahun 45 (1945,red)," kata Maroef.
Setelah melalui referendum dan keputusan PBB di New York barulah dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
"ini sebenarnya permasalah dalam negeri, karena sudah selesai kalau secara politik, sudah pbb mengambil keputusan, sudah menjadi bagian dari negera RI, dulu namanya Irian, kemudian berganti nama pada era abdurrahman wahid," kata Maroef.
Setelah itu, menurut Maroef sekitar tahun 1962-1963 sejumlah tokoh di Papua mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM).