Ruang 48

Jumat 15-09-2023,04:00 WIB
Oleh: Dahlan Iskan

SAYA terlalu cepat tiba: 09.15. Kemarin KPK memanggil saya pukul 10.00. Lalu lintas tidak terlalu padat. Dari SCBD ke Gedung Merah Putih hanya 25 menit.

Di depan KPK mobil harus berhenti di pinggir jalan. Hanya mobil khusus yang bisa masuk sampai teras. Saya pun turun di pinggir jalan itu.

Saya lihat sejumlah wartawan sudah berkumpul di teras. Siap dengan kamera mereka.

Lalu terlihat mobil Kompas TV baru tiba. Wartawannya buru-buru turun dari mobil. Ia bergegas menggotong kamera dan kabel-kabel.

Saya memperlambat langkah. Saya pernah merasakan bagaimana wartawan ketinggalan event. Toh jadwal pemeriksaan masih lama.

Saya pun duduk di pembatas kolam. Melayani teman-teman wartawan. Tidak satu pun saya kenal. Generasi sudah berkali berganti. Tentu saya tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Saya kan belum diperiksa.

Meski masih terlalu pagi saya masuk gedung KPK. Mendaftar sebagai tamu di ruang lobi. Meninggalkan KTP dan mendapatkan kalung tanda tamu. Dengan kalung di leher saya naik empat tangga. Saya coba naik sambil berlari. Sekalian tes sepatu baru.

"Sambil olahraga ya, Pak," sapa petugas di situ.

Tiba di atas, terlihat dua sofa cukup untuk dua orang. Dua buah. Dua-duanya terisi orang berompi oranye bertulisan tahanan. Yang satu sedang bicara lirih dengan orang berbaju batik. Satunya lagi  bisik-bisik tiada henti dengan orang juga berbaju batik di sebelahnya.

Saya tidak tahu siapa yang berompi oranye itu. Masih muda. Yang berbaju batik itu kelihatannya pengacara mereka.

Saya ingin tahu mereka. Tapi saling bisik itu terlihat intens. Saya tidak ingin mengganggu. Saya pun duduk di sisa sofa yang masih cukup untuk duduk mepet.

Petugas menyapa saya: HP, dompet, dan apa pun yang saya bawa diminta dimasukkan loker. Kunci loker saya bawa. Lalu saya mengisi daftar tamu. Petugas di meja tamu itu perempuan berjilbab hitam. Masih muda.

Masih terlalu pagi. Saya diminta menunggu. Sambil memperhatikan rompi oranye: siapa tahu bisa dapat kesempatan bertanya. 

Bisa.

"Ini pengacara kalian?" tanya saya sambil menunjuk yang berbaju batik.

"Iya," jawabnya.

"Oh...boleh didampingi pengacara?"

“Hari ini sidang pertama. Sidangnya di Semarang. Pakai sistem online," kata pengacara itu. "Kami akan minta terdakwa dibawa ke Semarang. Belum tahu bisa atau tidak," tambahnya.

"Kenapa sidangnya di Semarang?"

“Perkaranya di Jawa Tengah," jawabnya.

"Perkara apa ya?“

“Pembangunan rel kereta api layang dari Stasiun Jebres Solo ke arah Semarang," jawabnya.

Oh, saya tahu. Perkara yang tersangkanya sekitar 10 orang itu. Yang sebagian besar staf di Kementerian Perhubungan.

Tibalah waktunya saya diperiksa. Yakni sebagai saksi untuk seorang tersangka soal pembelian gas/LNG dalam jumlah besar.

"Di kamar 48," ujar petugas memberi tahu di mana pemeriksaan terhadap saya dilakukan.

Saya pun melangkah ke arah koridor panjang. Ada kamar-kamar di sepanjang koridor itu. Ada nomor kamar yang ditulis cukup besar di setiap pintunya. Angkanya sebesar telapak tangan.

Tiba di bagian tengah koridor saya belok kiri. Masuk koridor pendek yang berisi 6 kamar. Di situlah kamar 48.

Kalau saya tidak belok kiri, masih banyak kamar di sepanjang koridor lanjutan.

Saya longok dari jauh: kamar paling ujung sana nomornya 78. Berarti di situ saja ada 78 kamar pemeriksaan.

Saya masuk kamar 48: pintu yang menutup itu saya dorong. Ada meja besar panjang di kamar itu. Masih kelihatan baru. Bersih. Terang. Warna krem muda.

Meja itu panjang sekali. Dari dinding kiri sampai dinding kanan. Tidak ada sela untuk lewat.

Sebenarnya ada. Bagian ujung meja itu bisa dilipat ke atas, untuk lewat. Tapi memang tidak ada orang yang perlu lewat situ.

Saya pun duduk di kursi hitam bersandaran sebahu yang bisa digeser-geser. Sebelah kursi ini ada satu kursi berangka stainless steel yang agak kecil. Mungkin untuk tempat duduk pengacara.

Meja itu sendiri hanya diisi satu set komputer PC. Lengkap dengan keyboard-nya. Selebihnya kosong.

Di seberang saya ada satu kursi bersandaran tinggi, lebih tinggi dari kepala. Rupanya di kursi besar itu nanti pemeriksa saya duduk.

Sepuluh menit kemudian saya masih sendirian di kamar itu. Memang belum jam 10.00.

Saya tahu waktu dari jam dinding digital. Jam itu dipasang di dinding belakang tempat duduk saya. Tapi saya bisa menatapnya lewat kaca cermin besar yang posisinya di belakang kursi pemeriksa. Tentu posisi angkanya terbalik. Kadang sulit membedakan mana angka 5 dan angka 2. Secara digital, dua angka itu mirip sekali.

Sambil menunggu waktu, saya mencari tahu di mana letak kamera monitor di ruang itu.

Di dinding tidak ada.

Di plafon ada kisi-kisi penyedot udara, kisi-kisi AC, neon panjang dua buah, sprinkle pemadam kebakaran, pendeteksi asap, dan satu benda warna biru mirip lampu.

Mungkin yang terakhir itu berisi kamera.

Tak lama kemudian pemeriksa masuk. Lewat pintu di belakang kursi pemeriksa. Ia membawa banyak dokumen. Fotokopi. Diletakkan di meja. Rupanya meja ini perlu besar, dan panjang, untuk membeber dokumen di situ.

Saya diminta mempelajari dokumen-dokumen tersebut. Tahunnya 2009, 2010, 2011, dan seterusnya. Tanda tangan saya ada di situ. Baik sebagai dirut PLN maupun sebagai menteri BUMN.

Saya tersenyum kecil. Ada yang agak lucu. Bentuk tanda tangan saya ternyata berubah.

Sewaktu jadi dirut PLN, tanda tangan saya sederhana sekali. Sangat mudah untuk ditiru.

Waktu sebagai menteri BUMN, tanda tangan saya lebih rumit.

Saya pun ingat: ada yang mengingatkan saya saat itu. ”Bapak sekarang jadi menteri. Tanda tangannya tidak boleh lagi mudah ditiru,” kata orang itu. Saya lupa siapa yang menyarankan itu, tapi sarannya saya turuti.

Selama lima jam pemeriksaan, saya menghabiskan tiga gelas air putih. Saya ditawari teh dan kopi, tapi pilih air putih hangat. 

Tengah hari saya diberi makan siang: nasi kotak. Saya intip isinya: nasi, ayam goreng besar (seperempat potong), tahu, tempe, sambal, dan lalapan. Lalu, saya tutup lagi.

Saya tidak ingin makan. Sudah terlalu gemuk. Tapi, akhirnya saya ambil tahunya. Setengah jam kemudian saya ambil tempenya. Satu jam berikutnya saya ambil ayam gorengnya.

Hasil pemeriksaan pun saya tanda tangani. Saya lirik jam di kaca cermin: 15.05.

Saya masih beberapa waktu lagi di ruang sekitar 3,5 x 3 meter itu.

Begitu keluar gedung, wartawan jauh lebih banyak. Muda-muda. Tidak ada yang saya kenal. Generasi sudah ganti-berganti.(Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Edisi 14 September 2023: Hilirisasi Kristalina

Agus Suryono
EMBOEN DI JAKARTA.. "Tumben. Sore begini, kok di Jakarta ada emboen.." "Sst. Itu bukan emboen. Itu polusi..". "Wah, itu gara-gara IMF..". "Lho kok bisa..?" "Gara-gara IMF, di kita jadi banyak pabrik. Dan banyak polusi juga".. ###Ah, itu sih ilmu "gathuk" bin "cocokologi"..

mzarifin umarzain
Hilirisasi Kristalina. Gilirisasi Kristalina. Kristalina jadi piala bergilir? Tamu2 terhormat bergiliran menemui nya. Kapan para komentator CHD beroleh giliran ditemui nya?

Jokosp Sp
Abah mbahas sisi mata uang logam hanya dua sisi. Maaf sepertinya masih kurang teliti. Padahal ada satu sisi lain, sisi pembatas antara angka dan gambar. Coba cari uang logam bekas kerokan kalau masih ada ( uang benggol zaman Belanda )...wkwkkkkk. Atau jangan-jangan sudah "pikun", maaf yang ini bahasanya Pak Pry yang tak pinjam sebentar. Admin boleh delete kalau tidak berkenan. Atau karena sudah tidak pernah nyentuh uang seribuan yang kecil itu ( harga ongkos produksi logamnya untuk jadi uang ya seribu itu ). Kan sekarang isi di dompet kartu ATM, dan buat mbayar-mbayar sudah cukup pakai Q-Ris di HP. Model uang logam seribuan yang masih merlukan ya kita-kita ini, buat angsulan ( kembalian ) saat jual beli di toko. Malah kadang-kadang harus nukar ke tukang parkir untuk cari yang seribu atau dua ribuan.

Mirza Mirwan
IMF itu seperti koperasi simpan pinjam. Benar, lho. Lha wong dana yang dikelola IMF, yang dipinjam-pinjamkan, itu setoran dari anggotanya yang berjumlah 189 negara, kok. Setoran itu dikonversi menjadi SDR -- special drawing rights (hak penarikan khusus). Itu semacam "mata uang" IMF. Semakin besar SDR yang dimiliki suatu negara semakin besar pula kekuatan negara tersebut dalam menentukan kebijakan IMF. Saat ini Indonesia punya SDR 4.648,4 juta. Itu setara Rp93,9 triliun. Tetapi kekuatan suara Indonesia hanya 0,95%. Bandingkan dengan AS yang 16% lebih, atau Jepang dan Tiongkok yang masing-masing di atas 6%. Biasanya IMF itu membuat syarat njlimet yang harus dipenuhi oleh negara yang akan diberi pinjaman. Kalau ada kesanggupan untuk memenuhi syarat itu -- dengan menandatangani LOI -- barulah pinjaman dicairkan. Celakanya, waini, syarat yang ditentukan IMF itu terkadang bukan resep yang manjur, tapi justru menambah parah penyakit. Luka di kaki kena paku karatan mestinya cukup dengan suntikan anti tetanus dan obat antibiotik, eh, disarankan untuk diamputasi. Indonesia pernah menerima resep yang keliru seperti itu. Indonesia sudah tak punya utang ke IMF, meski punya SDR Rp93,9 triliun. Jadi tak ada keharusan Indonesia untuk menuruti apa maunya IMF. Tabik.

Juve Zhang
Oktober ini 60 pemimpin negara sudah ok akan datang ke Beijing .mearayakan 10 tahun BRI atau OBOR. Pusat Duit Dunia sudah pindah ke Beijing. Iran mau bangun Bandara besar gak ada dana cukup ketok pintu rumah Om Xi .di Beijing .ACC di bangunkan sampai jadi Bandara megah.bayar pake minyak mentah Iran. BRI jadi solusi bagi negara berkembang yg sulit dana tapi ingin bangun infrastruktur. ImF mana bisa minjam duit dibayar minyak.? Wkwkkwkk. Itulah kekuatan Duit Om Xi. Dolar nya bertumpuk tumpuk .daripada dibelikan Hutang pinjaman ke Amerika lebih baik di pinjamkan ke negara berkembang.maka beijing stop beli surat hutang Amerika ganti di pinjamkan untuk infrastruktur.ternyata Dolar nya masih numpuk juga.akhirnya ke swiss belanja Emas Gelondongan sebulan shopping 600.s.s 800 ton emas. Swiss pusat Grosis Tanah Abang nya Emas.jika anda banyak dolar silakan ke swiss. Dulu "sesepuh" kita juga nyimpan Tabanas di bank sana. Wkwkkwkk

Lagarenze 1301
Saya tak habis pikir, bagaimana proses kreatif hingga muncul komentar gacor dan bernas dari Pak Mirza Mirwan, Ko Liam Then, Ko Juve Zhang, Om Agus Suryono, dan banyak lainnya yang namanya tak bisa saya sebut satu per satu, di kolom komentar CHD ini? Apapun topik yang ditulis Pak Dis, para komentator bisa membahasnya dan banyak ide-ide inspiratif yang mengemuka. Dari ekonomi, politik, kecantikan 5i, bahkan hingga teknologi bambu untuk jalan tol. Apakah mereka pakai ChatGP? Pasti tidak. Pasti karena kemampuan berpikir mereka yang di atas rata-rata, wawasan yang luas, referensi yang banyak, dan basis keilmuan yang dalam. Mau banget seperti mereka. Kalaupun tidak bisa, cukuplah dengan menikmati komentar-komentarnya di CHD ini. Serasa jadi pintar juga.

Fiona Handoko
selamat pagi bp thamrin, bung mirza, bp prof pry, bp jokosp dan teman2 rusuhwan. asiong menelpon kantor. dan berkata "bpk boss. maaf. saya hari ini tidak bisa masuk kerja. badan saya sakit. kepala, perut, pundak, kaki, lutut. sakit meriang semua. saya tidak sanggup kerja." boss menjawab "kamu tahu asiong. saya sangat membutuhkanmu hari ini. ketika saya sakit seperti itu. saya akan mendatangi istri saya, dan mengajaknya untuk bercinta. itu membuat segalanya lebih baik, dan saya bisa bekerja. coba kamu lakukan saja cara itu." 2 jam kemudian. asiong telpon lagi." bpk boss. saya sudah melakukan apa yg anda sarankan. dan benar. saya merasa sehat luar biasa sekarang. saya akan segera masuk kerja. btw, whirlpool di kamar mandimu airnya kencang sekali"

Xiaomi A1
Pada peringatan HUT RI-78 di istana negara lalu, Kaesang Pangarep berhasil memperoleh hadiah sepeda dari Presiden Jokowi..kepada awak media, Kaesang mengatakan akan memberikan sepeda tsb kepada Bapaknya.. Hari ini Kaesang datang ke Sutos untuk membeli sepeda wdnsdy, langsung 2 unit, yg 1 untuk istrinya-Erina Gudono.. Saya jadi penasaran, apakah Abah DIs sudah pernah diberikan sepeda oleh Mas Aza...wkwk

Johannes Kitono
Citilink - Panas. Pagi ini 08.30 dari Sanggau ke Pontianak via Simpang Ampar.Non stop 3,5 jam atau jam 12.00 sudah tiba Pontianak.Masih sempat makan Bakmi Atie yang terkenal dengan Cingkong Kepiting.Ada wa Citilink bahwa tiga jam sebelum boarding harus tiba di Bandara.Itu pasti salah. Tiba bandara jam 13.00 ternyata counter baru buka jam 14.10. Harus tunggu satu ham lebih.Udara Pontianak tidak ramah, sekitar 32 atau 33 C. Selesai check in ke lounge Garuda,konyol sudah ditutup tanpa kasih tahu. Kalau ke Lounge Blue Sky harus keluar lagi lewati sekuriti. Buka tali pinggang dsb.nya sangat merepotkan penumpang.Mampir ke Indomaret cari minuman dingin. Maaf pak kulkasnya sedang rusak, kata petugas. Terpaksa beli Orange water yang tidak dingin. Sambil duduk didepan fan menunggu boarding ke Jakarta.. Kepada manteman yang mau ke Pontianak hari-hari begini. Jangan lupa bawa kipas angin portable. Semoga ac Citilink QG 415 normal dan bisa tiba Jakarta tanpa harus mandi Sauna.

Mukidi Teguh
Dulu Nauru, sebuah negara di tengah samudera pasifik, menjadi negara kaya raya dan dielu-elukan karena tambang fosfatnya. Tetapi hanya dalam masa beberapa puluh tahun, kisah manis itu berakhir pilu. Tinggallah sekarang lubang tambang yang menganga dan masyarakat asli yang miskin. Para pengusaha yang mungkin sebagian besarnya dari luar Nauru tentunya tak lagi tertarik dengan pulau itu, dan melanjutkan hidup dengan bisnis yang lain, sembari menikmati hasil dari usaha mereka dulu mengeruk fosfat di setiap sudut Nauru. Contoh ini nyata dan terjadi persis di abad kita, bukan sejarah masa lampau yang mungkin banyak diselimuti dongeng. Tapi seperti biasa, kita bangsa manusia sulit mengambil pelajaran. Kita masih terus mengulang cerita itu, dengan topik yang lain: kayu, batubara, emas, nikel, silika, dan sebagainya.

Wilwa
Di China kenakalan konglomerat semacam itu tak terjadi. Mengapa? Karena 99 persen transaksi harus lewat salah satu dari lima bank pemerintah. Bank swasta apalagi asing sangat dibatasi operasinya. Mungkin inilah warisan terbaik dari sistem sosialis alias komunis. Dimana pemerintah menguasai sektor perbankan secara hampir mutlak. 

Er Gham
Beberapa kebijakan IMF memang membuat Indonesia semakin terpuruk. Yang berhasil salah satunya adalah reformasi perbankan. 

Er Gham
Tahun 2001, jika tidak keliru, Kristalina ini minta Bank Indonesia periksa semua kredit konglomerat di Indonesia. Apakah ada unsur pelanggaran ketentuan BI dalam pemberian kredit sebelum krisis. Jangan lupa, krisis ekonomi tahun 1998 itu ada andil 'kenakalan' perbankan beserta para konglomerat itu. 

imau compo
Kebetulan saya baru dapat buku Murat Yulek, How Nations Succeed. Belum dibaca, tapi karena CHD hari ini bersesuaian, saya tulis ekstrak yang sempat saya baca. Ini butir-butir yang sempat terekstrak. 1. Perdagangan internasional hanya melanjutkan pola kolonialisasi, dimana negara maju "memaksa" negara berkembang memproduksi barang atau jasa yang mereka butuhkan dengan harga yang semurah-murahnya. 2. Proses industrialisasi dimulai dari beli, rawat, imitasi dan inovasi utk dijual. 3. Murat menuliskan best practice Korea yang membangun kemampuan energi nuklirnya yang berawal dari pembelian kilang nuklir utk kebutuhan energinya kemudian mengubahnya menjadi komoditi ekspor. 4. Industri Manufaktur adalah pilihan kebijakan yang baik tapi industri jasa merupakan sumber lapangan kerja. Manufaktur adalah sumber teknologi, produktivitas dan inovasi. Baik negara maju maupun negara berkembang membutuhkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi. Manufaktur dapat membantu keduanya dengan cara yang berbeda. 5. Kebijakan industri dan Kebijakan Industri (umum) bukanlah dua hal yang sama. Kebijakan industri umum akan membuang-buang sumber daya pada tahap III dan IV karena penyebarannya terlalu sedikit. Kebijakan industri terfokus diperlukan untuk membantu suatu negara untuk berpindah dari tahap II ke tahap III. Karena sebagian besar negara di dunia berada pada tahap I dan II, maka pengambil keputusan harus menyadari perbedaan ini.

Kategori :