Antropolog sekaligus pimpinan lembaga penelitian Papua, Johszua Robert Mansoben, menyatakan Papeda lebih dikenal dalam tradisi masyarakat asli Sentani dan Abrab di kawasan Danau Sentani, Arso, dan Manokwari.
Pada umumnya papeda dikonsumsi dengan kuah ikan tenggiri dan ikan, namun bisa juga diganti dengan ikan kakap merah, tuna, atau ikan gabus.
Kebanyakan ikan ini dibumbui dengan kunyit dan jeruk nipis sehingga memberikan warna kuning yang khas pada kuahnya.
Papeda terkadang juga dikonsumsi dengan umbi bertepung yang direbus, seperti singkong atau ubi.
Selain kuah kuning dan ikan, papeda juga bisa dinikmati dengan sayur gameno yang terbuat dari daun melinjo muda, tumis bunga pepaya, dan cabai merah.
BACA JUGA:Suguhkan Pengalaman Baru untuk Pecinta Steak, HW Group Dirikan Steakhouse
BACA JUGA:Gratis, Kulineran Sambil Nonton Konser di Mandiri Karnaval 2023 Hari Ini di Parkir Timur Senayan
Pohon Sagu
Pati diperoleh dengan menebang batang pohon sagu, kemudian memotongnya menjadi dua.
Setelah itu dikikis bagian dalam batang yang lunak, yaitu empulur, sehingga menghasilkan tepung empulur sagu mentah.
Tepung ini kemudian dicampur dengan air dan diperas untuk menghilangkan pati dari tepung.
Tepung sagu yang masih lembab biasanya disimpan dalam wadah yang terbuat dari daun sagu yang disebut tumang , yang akan disimpan selama beberapa bulan sebelum difermentasi secara spontan sehingga menjadi terlalu asam dan tidak cocok untuk pembuatan papeda.
BACA JUGA:Bogasari Makin Perluas Kerjasama dengan SMK Pusat Keunggulan
BACA JUGA:Wow! Festival Bogasari Tembus 14 Ribu Pengunjung, Catatkan Total Transaksi Rp 193 Juta
Tergantung pada varietas dan kondisi pertumbuhannya, pohon sagu mungkin memerlukan waktu lima hingga lebih dari sepuluh tahun untuk mengumpulkan cukup pati di batangnya agar upaya ekstraksinya bermanfaat.
Papeda dibuat dengan cara memasak tepung sagu dengan air dan diaduk hingga menggumpal. Ini memiliki konsistensi dan tekstur seperti lem .