DAKWAH Islamiah yang pertama-tama Rasulullah Saw lakukan di Makkah adalah melawan fanatisme, bahkan ketika Muhammad Saw. masih muda dan sebelum diangkat menjadi Utusan Allah di usianya yang ke-40.
Masyarakat Arab disebut Jahiliah bukan karena kebodohan literasi maupun keterbelakangan ekonomi, mengingat Makkah adalah kota metropolitan sejak era Ibrahim as, menjadi tujuan wisata religi setiap tahun dan pusat bisnis lintas negara sepanjang tahun.
Kebanggaan mereka adalah bertanding puisi, dan karya terbaik akan dipamerkan di dinding Kakbah, supaya seluruh umat manusia dari berbagai negara yang beribadah haji menyaksikan betapa karya sastra orang Arab berkualitas tinggi.
Orang-orang Arab disebut Jahiliah karena mereka fanatik. Kebanggaan sempit berasaskan kesukuan sangat kental, merasa klan masing-masing jauh lebih baik dari klan lain. Sehingga perang menjadi kebiasaan bagi orang Arab.
Fanatisme kesukuan dikikis oleh Muhammad Saw, sejak masih muda. Karenanya masyarakat Arab menjuluki beliau sebagai Al-Amin (Yang Tepercaya). Peristiwa besarnya yang selalu diingat adalah mendamaikan para elite suku-suku saat berebut memasang batu hajar Aswad ke Kakbah yang baru selesai direnovasi.
Program dakwah Muhammad setelah diangkat menjadi Rasulullah Saw adalah al-ikha' (mempersaudarakan) orang-orang Arab. Setelah hijrah ke Yatsrib, program dakwah berupa al-ikha' ini semakin luas, melibatkan antara kaum Muhajirin dan Anshar, kemudian antara muslim dan Yahudi-Nashrani.
Bahaya Fanatisme
Rasulullah Saw sadar betul bahwa penyakit yang mendarah daging adalah fanatisme. Setelah Rasulullah Saw wafat tahun 632 Masehi, fanatisme kesukuan kembali muncul. Orang-orang Abs, Dzubyan, Bani Kinanah, Ghatafan, Bani Thai, dan Fazarah tidak terima kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq Ra., yang kebetulan dari suku At-Tamim Al-Quraisyi.
Konflik berdarah pertama kali dalam Islam pun muncul, dengan alasan ekonomi, dimana orang-orang Arab menolak membayar zakat. Namun, zakat bukan faktor utama konflik. Mengingat nanti di kemudian hari, pada pemerintahan Usman bin Affan, konflik semakin meluas.
Pertama-tama Gubernur Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan, yang tidak terima kematian Usman bin Affan. Muawiyah dan Usman memiliki satu garis kesukuan yang sama, yaitu keturunan Bani Umayyah. Jadi, sangat masuk di akal memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib dari Bani Hasyim.
Sejarah memang lebih menonjolkan narasi politik pemberontakan Muawiyah bin Abi Sufyan dari Bani Umayyah terhadap Ali bin Abi Thalib dari Bani Hasyim. Padahal, faktor utama konflik sesama umat muslim, sejak orang-orang Murtad di era Abu Bakar Ash-Shiddiq sampai pemberontakan para pendukung Muawiyah, tetaplah sama; fanatisme.
Bukti lainnya adalah pembelotan kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib sendiri, yang dikenal sebagai kaum Khawarij. Dari sudut pandang politik, mereka kecewa kepada keputusan politik Ali bin Abi Thalib yang memenangkan Muawiyah bin Abi Sufyan, melalui Peristiwa Tahkim di bulan Shafar 37 H./Agustus 657 M.
Orang pertama yang mempropagandakan pemberontakan terhadap Ali dari kalangan Ali sendiri adalah Dzul Khuwaishirah At-Tamimi. Orang-orang Suku Tamim ini berani terang-terangan membentuk kelompok Khawarij pada masa Ali bin Abi Thalib. Tetapi, benih-benih fanatisme yang kental sudah muncul sejak era Rasulullah Saw, sebagaimana digambarkan oleh Shahih Bukhari hadits nomor 3610 orang-orang Bani Tamim.
Bahaya Fanatisme yang paling mencolok adalah keruntuhan kekhalifahan Islam di Baghdad. Bukan karena serangan bangsa Mongol di tahun 1258 M, melainkan karena konflik berkepanjangan antara kekhalifahan Islam di Baghdad yang beraliran Sunni melawan kekhalifahan Fatimiyah di Mesir yang beraliran Syiah.
Setelah kekuatan Fatimiyah melemah akibat konflik saudara beda Mazhab Teologis ini, bangsa Eropa melalui gerakan Perang Salib mencaplok Palestina pertama kali di tahun 1095 M. Jadi, fanatisme yang tumbuh subur di internal umat muslim adalah alasan kehancuran marwah sekaligus kekuatan Islam di hadapan musuh eksternal.