Restrukturisasi Proses Indoktrinasi Warga Nahdliyyin

Sabtu 11-11-2023,20:00 WIB
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

JAMAK  dimaklumi, sejarah ditulis para pemenang, dan historiografi selalu tentang "Big Man". Orang-orang besar yang menulis orang-orang besar. Ketika pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara mengeluarkan Surat Nomor R.09/KSN/SM/GT.02.00/11/2023 tentang daftar Calon Penerima Gelar Pahlawan Nasional tahun 2023, warga Nahdliyyin sangat terkejut.

Salah satu nama yang muncul adalah Kiai Abdul Chalim Leuwimunding dari Majalengka Jawa Barat. Satu nama yang foto-fotonya belum pernah muncul di acara-acara Muktamar NU. Padahal, membaca dan mendengar profil Kiai Abdul Chalim, salah satunya dari buku (akademik) Nasionalisme KH Abdul Chalim; Pejuang dan Tokoh yang Terlupakan, karya Prof Abdul Halim dan Dr Aguk Irawan MN Lc MA menunjukkan perannya yang signifikan dan bisa dibilang sama besarnya dengan pendiri dan tokoh-tokoh besar lainnya ketika merintis jamiyyah NU.

Dokumen-dokumen sejarah begitu banyak menyebutkan namanya saat peristiwa terjadi, salah satunya adalah Suara Nahdlatul Oelama, media milik HBNU (1927-1928).

BACA JUGA:Dari Mbah Hasyim untuk Palestina dan Indonesia

BACA JUGA:Fanatisme Musuh Pertama Kali Islam

Di sini penulis merasa keterkejutan yang besar, bahwa NU adalah Gudang Ulama sesuai dengan namanya. Hanya saja kepedulian terhadap para ulama tidak lahir dari kebijakan-kebijakan pengurus PBNU, melihat proses pengajuan Kiai Abdul Chalim adalah gerakan swadaya warga Nahdliyyin sendiri. Padahal NU tidak kekurangan tokoh besar.

Sebut saja Kiai Abdul Chalim Leuwimunding, yang satu paket dengan Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari dan Kiai Abdul Wahab Hasbullah. Setiap gagasan brilian dicetuskan Hadratussyeikh dan Kiai Wahab, maka Kiai Abdul Chalim eksekutor utamanya. Misal, ketika Hadratussyeikh dan Kiai Wahab ingin membentuk Komite Hijaz dan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama, Kiai Abdul Chalim bergerak mengumpulkan seluruh Kiai dari seluruh wilayah.

Mengingat komitmen menghargai jerih payah tokoh-tokoh NU bersifat swadaya, bukan kebijakan struktural dari pengurus PBNU, maka tidak heran bila banyak tokoh besar NU lain yang terabaikan. Sebut saja Kiai Bisri Syansuri, yang walaupun nama dan sejarah perjuangannya telah banyak dikenal namun kepahlawanannya belum diajukan.

Sebaliknya, nama dan jejak perjuangan Kiai Abdul Chalim yang jarang didengar telinga publik, tiba-tiba secara mengejutkan dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang sudah terjadi, kebijakan restrukturisasi proses indoktrinasi dan pengkaderan di internal NU harus dibenahi. Bangsa Indonesia dan khususnya warga Nahdliyyin memiliki hak untuk mendapatkan informasi tentang leluhur mereka yang berjasa besar mendirikan negara dan mengusir penjajah.

Sejarah Bekal Indoktrinasi Paling Ideal

Di satu sisi, banyaknya kiai-kiai NU yang dianugerahi gelar pahlawan nasional adalah kebanggaan tersendiri. Namun, di sisi lain, pemberian gelar pahlawan nasional adalah cara bangsa dan negara ini merawat pelajaran berharga dari masa lalu, sebagai bekal menjalani hidup di masa-masa mendatang. Hal itu penting di tengah arus globalisasi yang mengombang-ambingkan jatidiri kebangsaan kita.

Belajar pada sejarah, khususnya jejak-jejak perjuangan ulama-ulama NU, adalah cara yang paling ideal dalam melakukan kaderisasi di internal NU. Proses Indoktrinasi misalnya bukan semata-mata menanamkan aqidah Ahlussunah wal Jama'ah An-Nahdliyyyah semata-mata, tetapi juga untuk mengikuti jejak ulama dalam membangun masa depan negara.

Belajar pada warisan Kiai Abdul Chalim Leuwimunding, kita menjadi tahu bahwa ulama NU ada yang pakar manajemen organisasi dan administrator ulung. Selama ini kita hanya disuguhi cerita bahwa NU digagas oleh Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Namun faktanya, dua ulama besar itu adalah ibarat otak manusia, yang butuh pada tubuh, pada kaki dan tangan, yaitu Kiai Abdul Chalim sendiri.

Otak tanpa tubuh mustahil terjadi. Gagasan tanpa aksi hanya akan berhenti di meja diskursus. Pemikiran brilian tanpa keahlian manajerial tidak bermanfaat besar. Maka tidak heran, jika kita melihat betapa besar jumlah ilmuan dari kalangan Nahdliyyin, tetapi organisasi sebesar NU berjalan terseok-seok. Ada ketimpangan yang lebar antara kecerdasan pemikiran dan manajemen organisasi yang masih konvensional-tradisional.

Dengan belajar pada Kiai Abdul Chalim, yang memanajemeni gerakan-gerakan NU, seperti pendirian Tashwirul Afkaar, Nahdlatul Wathan, Syubbanul Wathan, Komite Hijaz, Jam'iyyah NU, Laskar Hizbullah, dan gerakan guru maupun ekonomi NU, maka kita telah belajar banyak bahwa organisasi NU di masa depan membutuhkan seorang yang ahli di bidang administrasi, leadership, dan manajerial.

Kategori :