JAKARTA, DISWAY.ID-- Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio menilai prestasi atas kinerja pengelolaan keuangan pemerintah daerah, kementerian dan lembaga (K/L) tidak akan memiliki nilai jika prosesnya ditempuh secara kotor.
Misalnya adanya transaksi saat audit keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI guna mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
BACA JUGA:KPK Fasilitasi Pemeriksaan BPK Terkait Dugaan Pelanggaran Kode Etik, SYL jadi Saksi
BACA JUGA:FAKTA: Penghargaan KPK, BPKP Hingga Kemenpan RB Bukti Nyata Pemprov DKI Kerja Secara Profesional
Menurut Agus, berbagai kasus yang muncul terkait dengan penyelewengan kewenangan oleh lembaga pemeriksaan keuangan tersebut telah menggerus kepercayaan publik, sehingga integritasnya saat ini sangat diragukan.
"Harusnya opini BPK itu tidak bisa lagi dijadikan acuan bahwa pengelolaan keuangan daerah itu benar atau tidak,” ujar Agus Pambagio, Minggu 9 Juni 2024.
“Kan audit nya oleh oknum diselewengkan, padahal tata kelolanya jelas, tapi kan penulisannya diselewengkan, sehingga orang di branding seenaknya. Saya tentu ga asal ngomong lah bukti di pengadilan pun begitu, ujungnya kan duit lagi," tambahnya.
BACA JUGA:Jokowi Minta BPKP Kawal Kesinambungan Pembangunan
BACA JUGA:SYL Hadir di KPK, Kuasa Hukum: Coba Tanyakan Langsung ke BPKRI
Agus mengungkapkan, demikian pula prestasi atas pengelolaan keuangan yang diraih oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari sejumlah institusi bisa dianggap tidak akan bernilai baik jika dalam penilaian opini oleh BPK masih dilakukan secara transaksional, alias diperjual belikan para oknum.
"Sebelum saya jawab lagi, anda percaya BPK? mau WDP, WTP atau apa kan bisa diselesaikan dengan bayar kan? Ya kan ujung-ujungnya duit. Kalau saya sudah tidak percaya lagi. Lihat saja nanti hasil auditnya, pemeriksaannya. Saya bicara juga sesuai dengan fakta pengadilan soal jual beli WTP," jelasnya.
Lebih lanjut Agus mencontohkan soal nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 40 persen menguap begitu saja, patut diduga ada keterlibatan oknum BPK di dalamnya.
Kondisi demikian, lanjut Agus, terjadi lantaran BPK lebih banyak di isi oleh orang-orang berlatar belakang politik, bukan orang-orang yang independen.
BACA JUGA:Kejagung Sebut Korupsi Timah Rugikan Negara Rp271 T, CERI: Tunggu Laporan BPK
BACA JUGA:BPKD Tegaskan Heru Budi Tak Pernah Potong Anggaran KJMU, Ini Fakta Sebenarnya