JAKARTA, DISWAY.ID - Kebijakan anggaran makan siang gratis sebesar 71 triliun yang disetujui oleh Presiden Jokowi dan tim gugus tugas sinkronisasi pemerintahan Prabowo - Gibran mengundang banyak kritik, baik dari masyarakat maupun dari pakar ekonomi.
Kebijakan prematur ini diperkirakan akab menimbulkan masalah baru untuk APBN 2025 mendatang.
BACA JUGA:Banggar DPR Setuju Anggaran Program Makan Bergizi Prabowo Rp71 Triliun
BACA JUGA:Jokowi Cemas Turbulensi Politik Bisa Ganggu Transisi ke Pemerintahan Prabowo
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, program makan siang gratis ini pada dasarnya hanya akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Apalagi kalau dilihat secara kebutuhan, jumlah Rp 71 triliun itu terbilang fantastis dan hampir sama dengan anggaran kebutuhan Ibu Kota Nusantara.
"Kalo menurut saya multiplier effect kebijakan ini hanya berdampak jangka pendek dan tidak beda jauh dengan bantuan sosial," kata Esther dalam keterangannya pada Selasa 25 Juni 2024.
Menurut Esther, program makan bergizi gratis itu tidak memberikan solusi baru bagi akar permasalahan, dan tak membantu Indonesia mewujudkan visi Indonesia emas.
BACA JUGA:Kompak Tim Prabowo dan Sri Mulyani Tampil Bersama: Tegaskan Komitmen Defisit APBN di Bawah 3%
BACA JUGA:Prabowo: Selamat Ulang Tahun Bapak Presiden Jokowi
"Untuk bisa mewujudkan Indonesia generasi emas adalah penguatan sumber daya manusia," imbuh Esther.
Hal serupa juga dikatakan oleh Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad. Menurut Tauhid, dana anggaran Rp 71 triliun ini berpotensi untuk menambah akumulasi hutan negara Indonesia.
"Jadi memang ada risiko ketika anggaran ini dimunculkan. Yang saya lihat dari PPKM dengan apa yang disampaikan bu Menteri, tampaknya ada upaya optimalisasi dari defisit. Kalo kemarin batas defisitnya sekitar katakanlah 2.45 sekarang udah jadi 2.82 persen dari Pajak Domestik Bruto (PDB), berarti itu ada tambahan 40 sampai 50 triliun Rupiah dari defisit, jadi ingin maksimalin defisit ya dari PDB," papar Tauhid.
"Tapi risikonya akumulasi utang kita totalnya akan bertambah, karena di tahun 2024 kita sudah berhasil di bawah 2.3 persen PDB, jadi kalau kita lebarkan defisitnya jadi 2,82 persen ya utang kita nambah," tutupnya.