Peneliti BRIN itu dalam disertasinya menduga adanya faktor epigenetik yang menyebabkan seorang pria mengalami azoospermia non obstruktif idiopatik.
Berbeda dengan kelainan genetik yang terjadi perubahan pada susunan DNA, epigenetik dapat menyebabkan gangguan perilaku sel tanpa mengubah DNA.
"Epigenetik susunan DNA-nya tidak berubah, tetapi terjadi gangguan yang bisa memengaruhi ekspresi atau perilaku sel," ujarnya.
Paisal menjelaskan, epigenetik ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan gaya hidup.
"Gaya hidup bisa memengaruhi perkembangan sel sperma melalui mekanisme epigenetik," ujarnya.
"Kalau mekanisme genetik itu sudah ada dari sananya (kelainan). Jadi gen-gen kita sudah kurang kodenya. Kalau epigenetik kita yang menentukan. Jadi perilaku hidup kita yang menentukan."
Lebih lanjut dalam penelitiannya, ia menemukan adanya protein yang berpengaruh penting dalam perkembangan sperma dan kesuburan.
BACA JUGA:Kualitas Sperma Pria Bisa Meningkat Jika Rajin Makan Toge? Ini Penjelasannya
Pada produksi sperma (spermatogenesis) tingkat sel, terdapat protein bernama Chromodomain Helicase DNA Binding Protein 5 (CHD5) yang belum pernah ditemukan sebelumnya.
"Protein ini sangat penting untuk sel berkembang menjadi sperma yang matang," ungkap dr. Paisal, M.Biomed ketika ditemui di IMERI FK UI Salemba, Kamis, 11 Juli 2024.
Sehingga, ia menduga bahwa gangguan protein CHD5 di tahap awal perkembangan sperma menjadi salah satu penyebab kemandulan.
"Jadi kita menduga bahwa jika terjadi gangguan protein CHD5 di bagian awal ketika sel belum matang, akan terjadi gangguan perkembangan sperma," paparnya.