Sayyid Muthahar

Minggu 28-07-2024,10:10 WIB
Oleh: Kang Marbawi

 

“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apa pun, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu”, ucap Soekarno kepada Muthahar. Dalam

“Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat”, karya Cindy Adams.

Muthahar terbakar patriotisme, untuk membela dan menjaga dengan segenap jiwa raga.

Walau harus mendekam dalam penjara Belanda dengan segala siksaan dan derita.

Sang Merah Putih selamat.

Hingga akhirnya, diahkir Juni 1949, dia menerima surat dari Sang Putra Fajar.

Melalui surat itu, dia diminta agar Sang Saka Merah Putih dititipkan kepada Soedjono untuk dibawa ke Bangka Belitung. 

Sang Dwiwarna sendiri lahir dari jahitan tangan Ibu Fatmawati dua minggu sebelum kelahiran Guntur Soekarno Putra, pada Oktober 1944. 

Kain katun merah putih itu berasal dari pemberian Hitoshi Shimizu, pemimpin barisan Propaganda Jepang, Gerakan Tiga A. Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia. Shimizu bersimpati kepada Indonesia.

Shimizu sendiri mendapatkan kain katun untuk bendera tersebut dari salah satu pejabat Jepang yang mengepalai Gudang di daerah Pintu Air, depan bioskop Capitol, Jakarta Pusat.

Adalah Chairul Basri yang diminta Ibu Fatmawati untuk meminta ke Shimizu.

Karena waktu itu hanya ada karung goni yang tebal dan tidak bisa dijadikan bendera. Cerita ini dikisah Abraham Panumbangan dalam “The Uncensored of Bung Karno”.

Setahun kemudian, bendera itu, dikibarkan di hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Sejak jaman kerajaan di nusantara, Sang Dwiwarna telah berkibar.

Kerajaan Singosari, Majapahit, pejuang Aceh, Sisingamangaraja XII, Pangeran Dipenogoro, Raja Alung Palakka dari Bone telah mengibarkan sang Waromporang-bendera Merah Putih- simbol kekuatan dan perlawanan. 

Kategori :