JAKARTA, DISWAY.ID-- Penjabat (Pj.) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono meminta semua jajarannya berinovasi untuk menurunkan prevalensi stunting di Jakarta pada 2024 hingga mencapai 13,2 persen. Sinergi semua pihak juga diperlukan agar masalah kekurangan gizi bisa teratasi.
Sedikitnya ada dua program inovasi yang sudah berjalan hingga saat ini, yakni Jakarta Beraksi (Bergerak Atasi Stunting) dan Rembuk Stunting. Pj. Gubernur Heru menekankan kolaborasi dengan berbagai pihak sebagai upaya mencegah stunting. "Kami memberikan makanan tambahan di Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), di setiap RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak), juga di Dinas Sosial," ujar Pj. Gubernur Heru belum lama ini.
Menurut Kementerian Kesehatan, stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi bayi, mulai dari kehamilan hingga usia 24 bulan.
BACA JUGA:Heru Budi Tegaskan Program Makan Siang Gratis Gunakan Wadah Ramah Lingkungan
Sementara itu, hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan RI pada 2022 menunjukkan, prevalensi balita stunting di Jakarta sebesar 14,8 persen. Menurun dibandingkan pada 2023 yang mencapai 17,6 persen.
Menanggapi data itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DKI Jakarta Ani Ruspitawati menyatakan, data prevalensi itu berdasarkan hasil survei. Namun, jika berdasarkan data aplikasi elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) triwulan 2, prevalensi stunting DKI Jakarta sebesar 2 persen.
Ani mengungkapkan, program Jakarta Beraksi (Jakarta Bergerak Atasi Stunting) sudah diluncurkan pada 2023. Program ini menggandeng perusahaan swasta melalui Corporate Social Responsibility (CSR) dalam pemberian bantuan makanan tambahan kepada balita weight faltering, underweight, dan gizi kurang, serta kegiatan lain.
"Dinas Kesehatan menyiapkan anggaran sebesar Rp 46 miliar untuk pemberian makanan tambahan bagi balita bermasalah gizi serta pemberian susu PKMK (Pangan olahan untuk Kondisi Medis Khusus) bagi balita stunting," tutur Ani kepada disway.id dalam wawancara tertulis Jumat, 30 Agustus 2024.
BACA JUGA:Pesan Heru Budi untuk Gubernur Jakarta Selanjutnya
Upaya itu, tambahnya, cukup berhasil, karena prevalensi stunting di Jakarta sejak Januari sampai Juni 2024 menurun hingga 0,31 persen. Kasus stunting terbanyak di Kota Administrasi Jakarta Barat, yakni Kelurahan Kapuk, Kelurahan Cengkareng Barat, Kelurahan Rawa Buaya, Kelurahan Cengkareng Timur, serta Kelurahan Kali Angke.
"Pada data kami di Dinkes DKI, balita stunting di Jakarta ada pada semua kategori ekonomi, namun memang cenderung banyak pada kategori ekonomi rendah. Pada status ekonomi rendah, orangtua balita mengalami keterbatasan dalam menyediakan makanan bergizi bagi anaknya, sehingga balita rentan mengalami stunting," katanya.
Faktor Ekonomi Penyebab Balita Stunting
Ada beberapa penyebab balita di DKI Jakarta mengalami stunting, antara lain sosial ekonomi yang rendah, biaya hidup tinggi yang menyebabkan ketidakmampuan dalam menyediakan makanan bergizi secara konsisten sehingga balita malnutrisi, lingkungan yang padat dengan sanitasi yang buruk, serta polusi udara meningkatkan risiko penyakit infeksi yang dapat menghambat pertumbuhan balita.
"Ada pula kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang masih kurang akan pentingnya makanan yang bergizi pada remaja putri, ibu hamil dan balita, serta praktik pemberian makanan yang tidak tepat, terutama kepada balita dengan kedua orangtua yang bekerja," ucap Ani Ruspitawati.
Kondisi ini membuat Dinkes Provinsi DKI Jakarta terus berupaya memberikan penyuluhan terkait edukasi cara pencegahan dan penanganan stunting, mulai dari remaja putri melalui sekolah.