Hal ini berdampak pada terhambatnya dalam memperoleh bantuan Pemerintah maupun program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),” ujar Yeka.
Pada aspek perizinan, permasalahan utama tata kelola industri kelapa sawit adalah rendahnya capaian pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), rendahnya capaian sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO),
Dan adanya ketidakpastian layanan Persetujuan Teknis (Pertek) Pemanfaatan Air Limbah Pabrik Kelapa Sawit untuk aplikasi ke lahan disebut land application – Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LA-LCPKS).
"Pasa aspek tata niaga, Ombudsman RI menemukan potensi maladministrasi berupa ketidakjelasan prosedur dan kepastian hukum dalam persaingan usaha Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun dan PKS tanpa kebun, kebijakan biodesel dan pengaturan tarif ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME)," terang Yeka.
BACA JUGA:Tingkatkan Kualitas Layanan Publik, BRI dan Ombudsman Republik Indonesia Gelar Sosialisasi
BACA JUGA:Ombudsman RI Kembangkan Digital Dashboard Monitoring, Permudah Penyelesaian Laporan Masyarakat
Yeka mengatakan bahwa masalah perizinan PKS disebabkan kurangnya koordinasi antar-kementerian dalam menentukan kewenangan dan standar perizinan PKS mengkibatkan tumpang tindih aturan.
Pada aspek kelembagaan, Ombudsman RI menilai bahwa tata kelola kelapa sawit diampu oleh banyak kementerian dengan kebijakan dan regulasi yang tidak terintegrasi sehingga menimbulkan pemasalahan implementasi di lapangan.
"Tidak terintegrasinya kebijakan ini berpotensi menimbulkan maladministrasi pengabaian kewajiban hukum dan tidak memberikan layanan karena adanya benturan regulasi," tandasnya.