Atas dasar itu, Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai memutuskan untuk melakukan tindakan administratif berupa deportasi terhadap VBM.
Karena pendeportasian tidak dapat dilaksanakan pada kesempatan pertama, VBM dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi Denpasar pada 17 September 2024 sambil menunggu proses penelusuran keberadaan paspornya dan proses pendeportasian VBM.
Dudy menjelaskan bahwa setelah WNA tersebut menjalani masa pendetensian di Rudenim Denpasar, upaya keras dari pihaknya untuk mempersiapkan proses pendeportasian akhirnya membuahkan hasil.
Kemudian, VBM, yang telah didetensi selama 66 hari, akhirnya dapat diberangkatkan ke negara asalnya.
VBM dideportasi melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai pada 22 November 2024, dengan tujuan akhir Mumbai Chhatrapati Shivaji Maharaj International Airport dengan pengawalan ketat petugas.
Gede Dudy menegaskan, bahwa upaya deportasi ini adalah bagian dari komitmen pihaknya dalam menegakkan hukum dan menjaga ketertiban di Bali.
“Kami akan terus bertindak tegas terhadap setiap warga negara asing yang melanggar ketentuan keimigrasian, terutama yang berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban di wilayah ini. Bali adalah destinasi wisata internasional yang harus tetap aman dan nyaman bagi semua pihak. Tindakan seperti deportasi adalah langkah yang kami ambil untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan,” ujarnya.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali, Pramella Yunidar Pasaribu, juga memberikan penekanan pentingnya pemahaman terhadap aturan bagi warga asing yang berada di Indonesia.
"Kasus ini menjadi pengingat bagi semua warga negara asing yang berkunjung ke Bali atau wilayah Indonesia lainnya untuk selalu mematuhi ketentuan yang berlaku. Kami berharap kejadian ini tidak terulang kembali dan Bali tetap menjadi tempat yang aman dan tertib bagi wisatawan dan penduduk asing yang menghormati hukum," tuturnya.
"Penegakan hukum yang tegas dan adil adalah komitmen kami untuk menjaga Bali sebagai destinasi yang nyaman dan teratur bagi semua," tambahnya.
“Sesuai Pasal 102 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, penangkalan dapat dilakukan paling lama enam bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan. Selain itu, keputusan penangkalan seumur hidup dapat dikenakan terhadap Orang Asing yang dianggap dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Namun demikian, keputusan penangkalan lebih lanjut akan diputuskan Direktorat Jenderal Imigrasi dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh kasusnya,” tutup Dudy.