"Kemudian faktor pemicu konfliknya adalah pengumuman hasil pilkada yang tidak sesuai prediksi elektabilitas paslon, kemudian ketidakpuasan para pendukung terhadap hasil pilkada yang seringkali menjadi sumber protes besar-besaran," jelasnya.
Sementara itu, pada konteks sosial budaya, medan yang sulit dan terbatasnya sarana transportasi dapat menghambat distribusi logistik pilkada, memunculkan ketegangan di masyarakat.
"Pada faktor pemicu konfliknya adalah terbatasnya sarana angkutan dan medan yang sulit dalam mendistribusikan logistik pilkada. Kendala ini dapat memicu ketidakpuasan masyarakat yang merasa hak suara mereka terancam," lanjutnya.
"Pada konteks kamdagri, ancaman dari kelompok tertentu yang berupaya mengganggu jalannya pilkada seperti aksi intimidasi atau sabotase sistem perwakilan dalam pemilu seperti sistem noken di Papua dapat menjadi sumber ketidakpuasan masa, terutama jika mereka tidak setuju dengan pilihan yang ditentukan oleh kepala sosial," paparnya.
Menurutnya, faktor pemicu konfliknya adalah aksi kelompok tertentu yang bertujuan mengganggu pelaksanaan pilkada, ketidaksetujuan masa terhadap pilihan paslon yang ditentukan oleh kepala suku memicu konflik horizontal di tingkat lokal.