JAKARTA, DISWAY.ID- Kasus dugaan korupsi tata niaga timah dalam izin usaha pertambangan PT Timah Tbk periode tahun 2015-2022 yang mencapai Rp 332,6 triliun akan lebih tepat masuk ranah administrasi.
Aturan hukum yang paling memungkinkan digunakan adalah undang-undang mineral dan batu bara (MInerba) dan undang-undang Lingkungan Hidup, bukan menggunakan undang-undang tindak pidana korupsi.
Hal itu diutarakan ahli Tindak Pidana Korupsi Prof Dr Jamin Ginting SH MH MKn di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata niaga pertambangan timah, Senin 25 November 2024.
BACA JUGA:Sidang Kasus Korupsi Timah, Saksi Ahli Sebut BPKP Tak Berhak Nilai Kerugian Negara
Menurut Jamin Ginting, dalam konteks penggunaan perhitungan kerugian negara dengan menggunakan undang-undang Lingkungan Hidup sebenarnya sudah diatur sanksi administrasi dan sanksi pidananya.
"Lalu kenapa bisa (dalam kasus dugaan korupsi timah) menggunakan undang-undang tipikor. Padahal dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sama sekali tak mengatur tindakan korupsi, tak ada dalam satu pasal pun," ujarnya.
Karenanya, lanjut Jamin Ginting, perkara tersebut harus ditarik kepada ketentuan pidana yang diatur dalam UU PPLH. "Jadi tidak ada tindak pidana korupsi dalam hal itu, kecuali jika terbukti adanya suap dalam pengurusan izin-izin atau lainnya barulah mengacu pada UU korupsi,” ujar Jamin Ginting.
Dosen Studi Hukum Universitas Pelita Harapan ini juga menilai tindakan jaksa dalam menggunakan Peraturan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan dan UU Lingkungan Hidup dalam menghitung kerugian negara di kasus korupsi timah ini pun kurang tepat.
Ini karena dalam UU Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa yang berwenang yang melakukan penyidikan adalah kepolisian dan PPNS sehingga dalam perkara ini penyidik Kejagung telah mengambil kewenangan tersebut.
“Berdasarkan ketentuan KUHAP, baik di pasal 6 maupun 7 sangat jelas disebutkan bahwa yang dimaksud penyelidik adalah Kepolisian Republik Indonesia dan yang dimaksud dengan penyidik adalah polisi dan PPNS. Jadi tidak ada disebutkan kejaksaan seharusnya kewenangan itu adalah penyidik PPNS dan kepolisian. Inilah kelemahan hukum kita, semua mau jadi penyidik, maka Jaksa juga mau ikut jadi penyidik,” tambahnya.
Dengan demikian, lanjut Jamin Ginting, penerapan pasal tindak pidana korupsi sebenarnya tidak relevan dalam kasus dugaan korupsi timah dalam izin usaha PT Timah Tbk karena yang berlaku hanyalah ketentuan dari UU Lingkungan Hidup, bukan UU Tipikor.
Penegak hukum kejaksaaan, ungkap Jamin Ginting, jangan hanya berfokus pada pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang Tipikor karena ada keberadaan pasal-pasal lainnya seperti Pasal 5, 6, 7, dan 8 seolah yang juga diperlukan sehingga perlu dilakukan koreksi. "Artinya, undang-undang kita perlu dibenahi, begitu juga dengan cara penegakan hukum, agar tidak semua tindak pidana korupsi hanya dilihat dari Pasal 2 dan Pasal 3 saja, masih ada banyak pasal lain yang perlu dieksplorasi lebih jauh," tegasnya.
Hal senada disampaikan Guru Besar bidang Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran, Prof Dr H Romli Atmasasmita SH LLM yang menyatakan bahwa pasal 14 UU Tipikor dalam penanganan perkara korupsi ada batasan-batasannya.
Romli menyatakan, jika ada perkara terkait pertambangan namun belum pernah ditangani sementara tidak ada rujukan terkait tindak pindana korupsi maka yang berlaku adalah UU pertambangan bukan UU Tipikor berdasarkan pada asas legalitas.