JAKARTA, DISWAY.ID - Demokrasi liberal adalah panggung yang gaduh. Ia dipenuhi slogan, manipulasi opini, dan kompromi yang sering kali mengorbankan kepentingan rakyat.
Dalam kebisingan ini, ketenangan politik Husain Alting Sjah menjadi sebuah antitesis yang mencolok.
Bukan karena ia membungkam suara, tetapi karena ia memahami, sebagaimana Marx pernah menyebutkan, “Manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya sekehendak hati mereka; mereka tidak membuatnya dalam keadaan yang mereka pilih sendiri, tetapi dalam keadaan yang langsung dihadapi, diberikan, dan diteruskan dari masa lalu.”
Husain Alting Sjah bukan sekedar tokoh politik; ia adalah produk dialektis dari kontradiksi zaman, yang memahami bahwa politik bukanlah sekadar seni merebut kekuasaan, tetapi instrumen sejarah untuk melahirkan perubahan yang berpihak pada rakyat.
Ketenangannya adalah strategi yang dibangun dari pemahaman mendalam bahwa perubahan tidak terjadi dalam kebisingan, tetapi melalui kerja panjang, kesadaran kolektif, dan keberpihakan yang tegas pada keadilan.
Tradisi Sebagai Senjata Perlawanan
Sejarah adalah arena perjuangan kelas yang terus bergerak. Maluku Utara, dengan segala kekayaan sumber daya alamnya, adalah contoh nyata dari kontradiksi kapitalisme modern. Tambang-tambang nikel dan emas yang seharusnya menjadi berkah, malah menjadi ladang eksploitasi yang memperparah ketimpangan.
Di sinilah Husain Alting Sjah hadir, tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi sebagai representasi dari kehendak rakyat yang ingin merebut kembali kedaulatan atas tanah dan kehidupannya.
BACA JUGA:Aduh, Penobatan Sherly Thjondoa yang Disebut Mirip Siti Khodijah Disorot Ulama
Sebagai pewaris tradisi Kesultanan di Moloku Kie Raha, ia membawa visi politik yang melampaui demokrasi liberal yang sering kali terjebak dalam ilusi kebebasan. Tradisi bukanlah romantisme belaka, melainkan senjata ideologis yang ia gunakan untuk melawan ketidakadilan struktural. Husain Alting Sjah memahami bahwa tradisi adalah bagian dari sejarah yang terus bergerak, bernegosasi dengan modernitas tanpa kehilangan esensinya.
Hari Esok: Medan Pertarungan Dialektis
H-1 adalah momen penentuan. Esok, rakyat Maluku Utara tidak sekedar mencoblos nama tetapi mereka memilih antara mempertahankan hegemoni oligarki atau membuka jalan bagi transformasi sosial. Dalam lensa Materialisme Dialektika Historis ; demokrasi adalah arena perjuangan kelas di mana suara rakyat sering kali dikooptasi oleh kepentingan modal.
Namun, ketenangan Husain Alting Sjah menunjukkan arah baru. Ia menolak terjebak dalam kegaduhan politik transaksional yang menjadikan rakyat hanya alat untuk kepentingan sesaat. Ketenangan ini bukan pasifisme, tetapi keberanian untuk menghadapi sistem yang korup dengan mengorganisasi kekuatan rakyat secara strategis.