JAKARTA, DISWAY.ID -- Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif menyoroti perubahan situasi politik dan kepemimpinan di berbagai negara Asia Tenggara yang semakin represis berdampak pada semakin rentannya posisi pembela hak asasi manusia (HAM).
Salah satu yang disebutnya adalah kembalinya kekuasaan rezim masa lalu yang sarat akan kasus pelanggaran HAM dan antidemokrasi, seperti yang terjadi di Filipina.
BACA JUGA:Seorang Perempuan Tertemper KA Feeder di Stasiun Cimindi, KAI Keluarkan Peringatan Keras
BACA JUGA:Ditjenpas: Mary Jane Belum Dibebaskan, Masih di Lapas Perempuan Yogyakarta!
Pada diskusi publik "Perempuan Pembela HAM: Meneguhkan Solidaritas dan Gerakan Perempuan di ASEAN" di Jakarta, Kamis, 28 November 2024 diungkapkan analisis bersama Forum Asia dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) tentang Situasi Pembela HAM di Asia.
Salah satunya tercatat 606 kasus kekerasan terhadap pembela HAM (PHAM) di Asia Tenggara selama kurun waktu 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2023. Sedangkan 33 di antaranya terjadi pada Perempuan Pembela HAM (PPHAM).
Laode dalam hal ini juga menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap pembela HAM kerap terjadi akibat belum adanya payung hukum yang melindungi mereka.
"Kekerasan aparat terhadap pembela HAM, aktivis peremppuan, aktivis lingkungan itu selalu ada. Apalagi jika secara kebijakan belum ada perlindungan hukum pada pembela HAM," tandas Laode, dikutip 30 November 2024.
BACA JUGA:Terpidana Mati Mary Jane Segera Bebas, Presiden Filipina: Thank You Indonesia
Hal ini diamini oleh Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani yang menegaskan bahwa ancaman atau bahkan serangan terhadap PPHAM menunjukkan keberadaan mereka belum diakui.
Padahal seharusnya, negara harus memberikan regulasi pelindung berupa peraturan perundang-undangan sebagai bentuk pengakuan terhadap eksistensi dan melindungi kerja-kerja advokasi PPHAM.
"Ancaman terhadap PPHAM yang berasal dari aktor negara maupun non-negara ini terjadi dalam berbagai ruangnya sehingga penting mengakui keberanian dan juga kegigihan PPAM dengan disertai upaya kolektif untuk mendukung dan memberikan perlindungan yang lebih baik," tuturnya.
Ancaman terhadap PHAM dikhawatirkan terus meningkat di tengah tren dominasi kepemimpinan militer dan otoritarian.
Di Indonesia sendiri, kembalinya perluasan kewenangan aparat bersenjata (militer dan kepolisian) di dalam pemerintahan sipil seperti pada masa Orde Baru menjadi ancaman, terutama pada wilayah rawan berkonflik.
BACA JUGA:Prihatin dengan Kondisi Agus Salim, Jusuf Hamka Optimis Kemensos Bisa Bereskan Kisruh Uang Donasi