Gojlokan atau Roasting bagian dari Penyedap Canda yang Mentradisi di Lingkungan Nahdliyin

Sabtu 07-12-2024,16:25 WIB
Oleh: KH Imam Jazuli Lc, MA,

Gus Miftah sudah terbiasa dengan lingkungan-lingkungan yang dinomorduakan oleh masyarakat itu, tetapi terbukti berhasil sedikit demi sedikit mengajar orang-orang terpinggirkan itu ke jalan Allah.

Karakter Gus Miftah yang bertahun-tahun tumbuh di lingkungan pergaulan yang gelap itu tiba-tiba diuji di lingkungan yang disebut “terang”.

Ia dipercaya oleh Presiden Prabowo Subianto untuk mengabdi kepada bangsa, negara dan umat dengan cara yang lebih luas dan efektif. Presiden memberikannya kekuasaan dan kewenangan untuk bertugas dan bertanggung jawab sebagai Utusan Khusus Presiden (UKP).

Dalam waktu yang sangat singkat kurang lebih dua bulan, Gus Miftah belum sepenuhnya beradaptasi dengan lingkungan para pejabat publik. Terjadilah peristiwa antara Gus Miftah dan Sonhaji, seorang pedagang es teh asongan itu.

Publik tidak bisa sepenuhnya menerima karakter personal Gus Miftah. Akhirnya, banyak bermunculan potongan-potongan ceramah Gus Miftah lainnya yang senada dengan peristiwa Sonhaji.

BACA JUGA:Urgensi Ukhuwah Islamiah dan Wathaniyah, Dulu dan Sekarang

Tempatkan Sesuatu Pada Tempatnya

Sebuah pepatah mengatakan orang zalim adalah orang yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kita sebagai sebuah bangsa tidak ingin menjadi orang yang zalim, menempatkan suatu perkara pada bukan tempatnya.

Gus Miftah harus ditempatkan pada tempatnya, sebagai pribadi yang terbiasa dengan gojlokan atau roasting, baik sebagai bagian dari warga NU maupun sebagai orang yang dilahirkan oleh jalanan dengan lingkungan masyarakat termarjinalkan.

Sebaliknya, membayangkan Gus Miftah seperti pejabat publik lain yang pandai bersilat lidah di depan kamera tetapi berperilaku korup di balik meja adalah perbuatan yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Membayangkan Gus Miftah seperti penceramah agama lain yang pandai bertutur kata lembut juga bukan menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Mungkin satu-satunya kesalahan Gus Miftah adalah tidak bisa memanfaatkan waktu yang sangat singkat, sekitar dua bulan sejak pelantikannya sebagai UKP, untuk menyadari bahwa tugas dan tanggung jawabnya sudah berubah.

Ia bukan lagi milik masyarakat yang termarjinalkan selama ini melainkan milik seluruh rakyat Indonesia dengan karakter dan kepentingan yang beragam.

Untuk itulah, ini menjadi pelajaran penting bagi Gus Miftah maupun seluruh warga Nahdliyyin yang diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin bangsa Indonesia yang majemuk. Ruang publik sudah seharusnya betul-betul dibersihkan dari kata-kata sarkas dan diisi dengan kata-kata santun.

Itu harus dilakukan baik oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun pejabat publik. Tentu ada harga mahal yang harus dibayarkan, yaitu mengorbankan keragaman dan memilih penyeragaman.

Di masa-masa yang akan datang, mungkin publik hanya menerima panggung stand up comedy sebagai satu-satunya ruang untuk roasting. Mimbar-mimbar agama dan panggung-panggung politik harus dibersihkan dari roasting dan gojlokan.

Kategori :