Dia merinci, saat ini setiap hari ada sekitar 8.000-10.000 perizinan risiko rendah yang diproses oleh Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM.
Sistem OSS ini juga tidak mengharuskan pihak yang mengajukan perizinan untuk bertatap muka. Kata Riyatno, proses tatap muka hanya dilakukan jika ada masalah dalam dokumen yang diajukan.
Kepala Pusat Kajian Industri Perdagangan dan Investasi INDEF Andriy Satrio Nugroho menambahkan, penerapan Online Single Submission (OSS) merupakan hal yang positif dalam mempermudah perizinan.
Namun, kata dia, masih ada OSS yang belum terintegrasi dengan Kementerian/Lembaga yang berpotensi memunculkan masalah dalam perizinan.
INDEF merekomendasikan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, untuk menyesuaikan dan integrasi sistem lintas Kementerian/Lembaga dan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang seragam.
Serta mendorong adanya penyelarasan capaian kinerja bersama bagi penanggung jawab Kementerian/Lembaga di OSS,” kata Andriy.
BACA JUGA:Pasca Pencabutan Izin Usaha Travel Haji dan Umroh Nakal, Ini yang Dikhawatirkan Gus Yaqut
BACA JUGA:12 SPBE Culas Terima Sanksi dari Pertamina, Izin Usaha Terancam Dicabut
Ketua Komite Tetap Strategi dan Promosi Investasi Kadin Indonesia Shaanty Shamdasani mengungkapkan, kemudahan perizinan berusaha bukan hanya satu-satunya faktor untuk meningkatkan investasi.
Faktor lain yang krusial adalah soal aturan yang dibuat oleh pemerintah. Kata dia, banyak investor yang mengeluhkan regulasi di Indonesia yang cepat berubah-ubah.
Contohnya adalah aturan tentang Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Ini sudah 10 tahun berjalan tapi di dalam negeri industri yang produksi barang lokal tidak banyak yang muncul.
Bagaimana kita bisa memenuhi TKDN kalau industri lokal tidak berkembang, kalau perlu spare part lokal terpaksa harus impor,” jelas Shaanty.
Shaanty menambahkan, untuk bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen maka harus banyak regulasi yang diperbaiki.
Selain perubahan regulasi, kata dia, hal lain yang sering jadi keluhan dari investor adalah pelaksanaan uji materi yang kerap tidak transparan.
“Kalau bisa sistem judicial review ketika ada UU yang digugat, tidak makan waktu lama dan juga biaya yang besar.
"Investor masih melihat sistem judicial review di Indonesia tidak transparan sehingga membuat sejumlah investor menutup pabrik mereka dan meninggalkan Indonesia,” jelas Shaanty.