Selain masalah sektoral, Didik menyoroti persoalan fiskal Indonesia, terutama terkait utang pemerintah yang terus meningkat.
Dari 2010 hingga 2024, rasio utang terhadap PDB naik dari 26 persen menjadi 38,55 persen.
Per September 2024, total utang pemerintah tercatat mencapai Rp8.473,90 triliun.
“Praktik ekonomi politik utang yang tidak sehat ini mencerminkan lemahnya kontrol dan sistem cek dan keseimbangan dalam politik anggaran selama 10 tahun terakhir,” ungkap Didik.
BACA JUGA:Angrek Buat Hasto Diantarkan Ambulance PDIP
Tingginya tingkat suku bunga obligasi Indonesia yang mencapai 7,2 persen – jauh di atas rata-rata negara ASEAN – menjadi salah satu dampak negatif dari kebijakan utang yang berlebihan.
Dibandingkan, suku bunga obligasi di Thailand hanya 2,7 persen, Vietnam 2,8 persen, Singapura 3,2 persen, dan Malaysia 3,9 persen.
Tingginya beban pembayaran bunga utang telah menggerus kualitas belanja negara.
Porsi pembayaran bunga utang dalam anggaran pemerintah pusat naik dari 11,09 persen pada 2014 menjadi 20,10 persen pada 2024.
Belanja nonproduktif, seperti belanja pegawai dan barang, juga meningkat dari 34 persen (2014) menjadi 36 persen (2024).
BACA JUGA:Benda Mirip Mortir Ditemukan di Rumah Mewah Cipete, Tim Gegana Turun Tangan
BACA JUGA:Imigrasi Soekarno-Hatta Klaim Belum Terima Surat Cekal Hasto Kristiyanto
“Setiap tahun, pajak rakyat sebesar Rp441 triliun habis hanya untuk membayar bunga utang, belum termasuk pokoknya. Ini kondisi yang tidak sehat dan akan berdampak pada pemerintahan mendatang,” tambahnya.
Prof. Didik menegaskan bahwa tanpa reformasi fiskal yang mendasar dan kebijakan industri yang jelas, Indonesia sulit mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan ambisius.