BACA JUGA:Publik Diminta Ikut Awasi BP Danantara, Industri Pertahanan Wajib Bebas Titipan
Kita tahu, lah, bagaimana kehidupan di Amerika. Pajaknya tinggi bro! Hal ini yang membuat mereka sekarang pontang-panting mencari investor untuk pemasukan negara dengan cara seperti ini.
Selama ini, Indonesia harus menerima kenyataan tak bisa memanfaatkan sumber daya alamnya dengan bebas.
Di sektor energi ini, minyak mentah yang Indonesia produksi harus dijual terlebih dari ke luar. Kemudian negara ini membeli kembali dengan kualitas minyak yang sudah siap diolah mandiri oleh pemerintah.
Maka nggak heran, perusahaan seperti Shell, Vivo Energy, dan BP AKR, tak semena-mena mengirim produknya dari luar.
Mereka pun harus membeli minyak mentah ke pemerintah, dalam hal ini Pertamina.
BACA JUGA:Cara Cek Bantuan BPJS Ketenagakerjaan Penerima BSU 2025, Cuma Isi NIK Status Kamu Langsung Keluar
BACA JUGA:RESMI: Cristhian Mosquera Tinggalkan Valencia, Hijrah ke Arsenal dengan Biaya Fantastis
Tren Harga Minyak Mentah Dunia
Sebelumnya perang Iran dan Israel membuat harga minyak mentah bergejolak. Pada Juni lalu, hanya minyak Brent menyentuh 75,56 Dolar AS per barel.
Angka tersebut tertinggi dalam beberapa bulan terakhir, sebelum akhirnya terkoreksi ke level 65,50 Dolar AS per barel.
Memasuki Juli 2025, tepatnya pada Senin, 14 Juli 2025, kebijakan "Tarif Trump" merusak tren perdagangan sektor energi.
Selain itu, keputusannya untuk mengirim senjata tambahan kepada Ukraina, serta mengancam Rusia agar mencapai kesepakatan gencatan senjata, merusak tren harga dua merek minyak AS dari hulu ke hilir.
Harga minyak Brent ditutup melemah 1,63% atau turun 1,15 Dolar AS, atau menjadi 69,21 Dolar AS per barel.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) pun alami nasib serupa. Harganya turun ke level 66,98 Dolar AS per barel, atau turun 1,47 Dolar AS per barel atau setara 2,15%.
Situasi geopolitik yang terkadang naik dan turun, mempengaruhi naik turunnya harga minyak mentah. Para pelaku pasar kini merasa ragu dengan pernyataan Trump.