JAKARTA, DISWAY.ID-- Seperti biasa, tak pernah kehabisan drama politik. Kali ini, sorotan kembali tertuju pada syarat pendidikan minimal S1 untuk calon presiden dan wakil presiden.
Wacana ini, entah kenapa, selalu muncul bak sinetron lawas yang diputar ulang setiap 5 tahunan. Terutama, jelang pemilihan Capres-Cawapres.
Akhirnya, drama lama yang terus berulang ini, dihentikan Mahkamah Konstitusi (MK).
BACA JUGA:Resmi! MK Tolak Syarat Pendidikan Minimal S1 untuk Capres dan Cawapres
Pada 17 Juli 2025, MK menolak gugatan uji materi soal syarat pendidikan S1 ini. Alasannya? Membatasi hak politik warga.
Diketahui, drama soal syarat S1 ini bermula di tahun 2003. Saat itu, DPR dan pemerintah sibuk merumuskan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden.
Departemen Dalam Negeri kala itu ngotot mengusulkan syarat pendidikan minimal S1 untuk capres dan cawapres. Tapi, usulan ini langsung memicu keributan.
Banyak yang curiga, ini cuma akal-akalan untuk menjegal Megawati Soekarnoputri, yang saat itu jadi presiden petahana tapi tak punya gelar sarjana.
Partai Golkar, yang getol mengusung syarat S1, dituding main politik licik. PDIP balik menyerang, mengusulkan syarat lain. Capres tak boleh bermasalah hukum, yang konon ditujukan untuk mengganjal Akbar Tandjung (Ketua Golkar saat itu).
Akhirnya, kompromi lahir. UU Pilpres 2003 menetapkan syarat pendidikan minimal SMA atau sederajat. Syarat ini bertahan hingga kini, termasuk dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Tapi, benih polemik sudah tertanam, dan drama ini terus berulang.
2008: Megawati Sakit Hati, DPR Terbelah
Lima tahun kemudian, tahun 2008, wacana S1 kembali mengemuka. Kali ini, Fraksi PKS dan PAN di DPR mengusulkan capres harus sarjana, sehat, dan muda. Katanya, pemimpin harus mampu menangani masalah bangsa yang kian kompleks.
Ketua DPR saat itu, Agung Laksono dari Golkar, mendukung penuh. “Harus ada progres,” katanya, sambil menyebut bahwa standar pendidikan harus naik dari SMP, SMA, hingga sarjana.
Tapi, tidak semua setuju. Ketua Fraksi PDIP, Tjahjo Kumolo, menolak keras. Baginya, pemimpin itu bukan soal gelar, tapi kemampuan memimpin dan menyatukan bangsa.