Pasalnya, dengan total utang yang telah menembus Rp 10.269 triliun dan rasio 40,19 persen PDB pada 2024, risiko fiskal Indonesia semakin besar.
"Banyak ekonom birokrat mengatakan defisit 2,78 persen PDB aman karena masih di bawah batas 3 persen UU Keuangan Negara. Namun kita perlu kritis. Batas 3 persen adalah angka administratif, bukan angka optimal yang mencerminkan keberlanjutan fiskal jangka panjang," tegas Achmad.
BACA JUGA:Dasco Minta Polisi Ungkap Penyebab Pasti Kematian Diplomat Kemlu Arya Daru
BACA JUGA:Kasus Keracunan MBG di NTT, Dasco Singgung Sistem Supervisi dan Distribusi
"Utang ini naik hampir Rp 800 triliun hanya dalam satu tahun, yang mayoritas digunakan untuk menutup defisit dan membayar utang jatuh tempo, bukan untuk pembiayaan pembangunan strategis jangka panjang," tambahnya.
Selain itu, Achmad juga menambahkan bahwa kondisi ini juga berpotensi untuk menimbulkan fiskal stress karena ruang fiskal untuk belanja produktif semakin sempit akibat pembayaran bunga utang yang terus membengkak.
"Memang masih di bawah Maastricht Treaty 60 persen, tetapi perlu diingat bahwa tax ratio Indonesia masih di bawah 10 persen, sedangkan negara-negara OECD yang rasionya 60 persen memiliki tax ratio di atas 25 persen. Artinya, kemampuan bayar utang kita jauh lebih rendah," jelas Achmad.
Untuk menghadapi kondisi ini, Achmad sendiri menilai bahwa Indonesia membutuhkan strategi fiskal yang berorientasi keberlanjutan, bukan sekadar memenuhi janji politik jangka pendek.
Dalam hal ini, dirinya menyarankan agar Pemerintah perlu menetapkan defisit yang lebih rendah, idealnya di bawah 2 persen PDB dalam jangka menengah, untuk memastikan risiko pembayaran utang tidak menekan belanja pembangunan.
BACA JUGA:Revisi UU Kependudukan Kunci Kapitalisasi Bonus Demografi
Selain itu, dirinya menambahkan bahwa reformasi pajak dan PNBP juga harus dilakukan sekarang, bukan ditunda lagi dengan alasan stabilitas politik.
"Negara-negara maju memiliki tax ratio tinggi karena sistem administrasi pajak mereka efektif dan adil," tutup Achmad.